yoondiction

Ketika Hazel keluar dari kamar, sudah ada Samuel dan Davian yang sedang mengobrol tepat di depan kamarnya. Tak lama, Melvin menyusul keluar dari dalam kamar.

“Sorry agak lama, gue ke toilet dulu tadi,” ucap Melvin meminta maaf.

“Santai, elah. Gue juga tadi habis dari toilet, kok,” balas Hazel sambil merangkul adiknya yang lebih tinggi.

“Udah, yuk, jalan, ngapain masih berdiri di sini?” Samuel berujar dengan sedikit menaikkan nada bicaranya.

Ketiga yang lain mengangguk, kemudian beranjak dari depan kamar Hazel.

Ketika sampai di ujung koridor deretan kamar mereka, tiba-tiba saja mereka berhenti. Mereka menatap satu sama lain dan mundur satu langkah ke belakang. Pasalnya, lampu koridor tangga yang akan mereka lalui sedang mati, membuat jalur yang akan mereka pakai untuk menuju lantai bawah menjadi gelap gulita.

“Bukannya selalu dinyalain, ya? Atau, tadi lupa?” tanya Hazel yang sudah bersandar pada dinding koridor.

“Tadi pas gue naik masih nyala, kok. Lagi konslet doang kali,” balas Melvin sambil sedikit memastikan keadaan di sekitar tangga.

“Ini gimana mau turun, anjir, gue takut,” omel Samuel.

“Ngapain takut, anjir, gini doang.” Melvin membalas perkataan Samuel dengan sedikit meremehkan.

“Iya deh, si paling berani. Sana, turun sendiri, dah,” balas Samuel sambil sedikit menantang.

Melvin langsung ciut, ia juga tidak berani melewati koridor tangga yang gelap sendirian.

“Terus ini gimana, anjir, gue mau makan.”

Davian terlihat berpikir sebentar, lalu tiba-tiba menyerukan ide yang sama sekali tidak disetujui oleh adik-adiknya.

“Gimana kalau kita bangunin Kak Satria buat temenin kita?”

“Dav? Lo gila apa gimana, sih. Ntar diamuk, anjir.” Melvin, Hazel dan Samuel menolak keras masukan Davian.

Belum sempat mereka berdebat lagi, pintu kamar Satria tiba-tiba saja terbuka, menampilkan si pemilik kamar yang terlihat belum tidur walaupun sudah menggunakan piyama.

“Kenapa ribut malem-malem? Katanya tadi mau makan?”

“Ini baru mau turun, Kak, tapi lampu di tangga tiba-tiba mati.” Hazel yang menjawab, karena ia yang berhadapan langsung dengan Satria.

Satria yang mengerti langsung menutup pintu kamarnya, lalu berjalan di depan adik-adiknya untuk menuntun mereka turun.

“Besok gue ganti lampunya. Gue juga baru tau kalau udah konslet,” kata Satria ketika mereka sudah melewati tangga dengan aman.

“Sori jadi ganggu lo, Kak, kita nggak maksud,” ujar Samuel yang berdiri di dekat kakak sulungnya. Ia merasa tidak enak karena sudah mengganggu tidur kakaknya, padahal dari kemarin ia disibukkan oleh urusan perusahaan yang membuatnya tidak sempat beristirahat.

“Santai, gue juga belum tidur, kok. Masih nonton tadi,” balas Satria. Jelas ia berbohong. Karena ia dari tadi tengah berusaha untuk mengistirahatkan badannya, namun tidak bisa karena otaknya sepertinya menolak akan hal tersebut.

“Lo nggak mau balik aja, Kak?” tanya Davian saat Satria terus mengikuti mereka hingga ke dapur.

“Nggak usah, gue ikutan kalian makan mie aja. Tiba-tiba laper soalnya.”

Melvin meneguk ludahnya dengan susah payah. Ia gugup setengah mati jika sudah dipanggil oleh Satria secara pribadi seperti ini bersama kedua saudaranya yang lain.

Melvin bersama Davian dan Mattew kini telah duduk sempurna di hadapan Satria yang menatap mereka dengan pandangan mengintimidasi.

“Kalian tau kenapa gue manggil kalian bertiga malam ini?” tanya Satria dengan suara rendah.

Dengan ragu-ragu ketiganya menggeleng. Tidak ada yang tahu alasan sebenarnya Satria memanggil mereka. Setelah makan malam bersama, Satria menyuruh Melvin, Davian, dan Mattew untuk mencuci piring. Sehabis itu, ia memanggil mereka secara pribadi saat para saudaranya sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Satria menghembuskan nafas pelan, bersiap untuk memulai pembicaraan serius dengan ketiga adiknya.

“Gue mau ngomongin tentang kuliahan kalian. Kali ini, nggak ada yang bisa ngelak.”

Saat itu, ketiganya sudah tau apa yang akan dibicarakan oleh si sulung.

“Ini udah berapa bulan? Kalian mau main-main sampai kapan?” ujar Satria lantang. Ekspresinya tenang, tidak ada raut marah di wajahnya, tetapi ketiga adiknya tak berani menatap sang Kakak.

“Davian, gue denger lo udah masuk tahap skripsian. Gue minta tolong untuk fokus, jangan sampai karena lo sibuk kerja, skripsi lo jadi keteteran. Jangan sampai tambah semester akibat kelakuan lo sendiri.” Davian menelan ludahnya dengan susah payah ketika merasakan bahwa Satria mengharapkan dirinya untuk lulus tepat pada waktunya.

“Iya, Kak. Gue usahain supaya bisa selesai semester ini.”

“Gue pegang kata-kata lo, Davian.”

Kini sang sulung beralih kepada Melvin. Ia menghela nafasnya lelah, sepertinya ia lelah untuk menasehati adiknya yang satu itu.

“Lo mau sampai kapan main-mainnya, Melvin. Waktu cuti lo udah habis, lho. Gue pokoknya nggak mau denger alasan lo lagi. Cepetan balik kuliah, atau lo nggak usah kuliah sama sekali mendingan.” Perkataan Satria membuat Melvin diam tidak berdaya. Kali ini, ia harus benar-benar menuruti kemauan sang kakak. Melvin tidak ingin ada penyesalan jika tidak mengikuti perkataan sang sulung.

“Lo juga, Matt. Gue nggak permasalahin, sih, karena lo juga masih semester tengah. Tapi, gue nggak mau kalau Samuel sama Vincent nyusul atau ngedahuluin lo, padahal lo masuk kuliah duluan. Jadi, gue mohon, tolong balik dan selesain kuliah lo tepat waktu.” Beralih kepada Mattew, pemuda itu terlihat datar saja, tetapi tetap mengangguk. Satria tau semua hal tentangnya, ia tidak bisa mengelak dari si kakak sulung.

Setelah berbicara bersama ketiga adiknya, Satria segera berpamitan untuk tidur. Tubuhnya terasa lelah, dan untungnya tidak ada perdebatan hebat malam itu.

Sepeninggalan Satria, ketiganya segera menarik nafas lega. Mereka baru saja melewati situasi yang menegangkan tanpa ada keributan dari sang kakak.

Satria memanggil ketiganya atas perintah sang ayah yang sudah sangat lelah dengan kelakuan mereka yang seperti tidak memperdulikan pendidikan, dan memutuskan untuk fokus kepada pekerjaan yang telah mereka dapatkan di usia muda. Menghindari pertengkaran yang akan terjadi, Satria akhirnya yang turun tangan untuk berbicara kepada ketiganya. Ia sangat tahu, kehidupan ketiga adiknya tidak semudah itu. Ia tidak ingin menekan mereka, tetapi permintaan sang ayah tidak bisa ia tolak.

Satria percaya kepada adik-adiknya, dan adik-adiknya mengikuti perkataannya. Ikatan persaudaraan mereka tidak bisa diukur menggunakan apa pun.

“Kok, sepi, yang lain pada ke mana, Jo?” tanya Satria saat menemukan kediaman keluarganya yang terlihat tenang.

“Lagi pada kumpul sama temen-temennya, Kak. Kan, lusa udah banyak yang mau balik lagi,” jawab Jonathan.

“Siapa aja yang keluar?”

“Kak Jeffry, Hazel, Davian, Melvin sama Samuel.”

Satria mengangguk saja. Tak lama, terlihat Mattew yang baru saja turun dari lantai atas, di mana kamar mereka berada.

“Mau kemana, Matt?”

“Mau keluar sama temen. Bentar doang, kok, nggak sampai malem,” jawab Mattew sembari sibuk menutup resleting tasnya.

“Ya udah, hati-hati, ya.” Mattew mengangguk saja sebagai respon ucapan Satria. Ia dengan cepat langsung meninggalkan kediaman keluarganya.

“Darel gimana?” tanya Satria saat ia berjalan bersama Jonathan menuju dapur.

“Kayaknya mau keluar juga, tadi udah sempet ngomong sama gue.” Satria manggut-manggut, ia tidak mempermasalahkan jika adik-adiknya sibuk sendiri hari ini. Ia juga punya urusan sendiri.

Satria membuka kulkas, sepertinya ingin menemukan sesuatu untuk dimakan. “Lo mau makan, Kak? Mau gue masakin, atau mau pesen di luar?” Jonathan menawarkan diri.

Sang sulung menggeleng. “Nggak, gue mau istirahat aja, nanti makannya agak siangan aja,” tolaknya.

Setelah itu keduanya berjalan bersama menuju kamar masing-masing.


Menjelang makan malam, Hazel dan Samuel mengabarkan kalau mereka akan menginap di rumah salah satu teman mereka. Mattew dan Davian belum kunjung kembali, sepertinya mereka akan makan malam di luar malam ini. Jadilah makan malam hari ini mereka hanya bersembilan bersama the mothers. Ayah belum kembali, sepertinya akan memakan waktu lama mengurus urusannya.

Makan malam mereka diisi dengan cerita Jeffry dan Darel tentang kegiatan mereka hari ini, disambung dengan pertanyaan mengenai William yang seharian mengerjakan lagu barunya, dan ditutup dengan cerita Januar yang sore tadi menyempatkan diri untuk berjalan-jalan dan memberi makan kucing liar di sekitar perumahan.

Davian dan Mattew baru saja kembali saat meja baru dibersihkan. Saudara-saudaranya masih sibuk mencuci piring masing-masing. Sehingga keduanya memutuskan untuk segera membersihkan diri, dan mengistirahatkan badan.

Saat Melvin baru saja selesai dengan piring cuciannya, tiba-tiba saja Satria memanggilnya, sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu.

“Kenapa, Kak?” tanya Melvin bingung.

“Panggil Davian sama Mattew, gue mau ngomong sama kalian bertiga. Tapi tunggu sampai yang lain naik ke atas dulu, gue mau ngomong personal soalnya,” ucap Satria.

Melvin tau, ia dan ketiga saudaranya tidak akan selamat malam itu.

“Sok ganteng banget, anjir,” komentar Darel saat melihat foto Davian dan Mattew yang baru saja diposting di Instagram pribadi mereka.

“Sewot aja lo, bocil,” balas Mattew dengan setengah kesal.

Mereka sedang menunggu makan malam sambil menonton Hazel yang sedang karaoke di ruang santai. Setelah melalui kegiatan yang melelahkan, sebagian dari mereka bahkan sudah ketiduran di berbagai tempat, tidak terganggu dengan suara keras Hazel.

“Ini yang ketiduran nggak mau masuk kamar aja?” tanya Samuel yang daritadi menemani Hazel bernyanyi.

“Udah, biarin aja, kasihan kalau dibangunin,” Jeffry menjawab. Pemuda itu terlihat kelelahan, bahkan hampir saja ketiduran di sofa yang ia duduki.

Satria sedang ada urusan pekerjaan, jadi ia tidak ikut bergabung dengan saudara-saudaranya malam itu.

“MAKAN MALAM SIAP!” teriak Melvin yang kembali memasak untuk saudara-saudaranya.

Hazel langsung menghentikan kegiatannya dan berlari menuju ruang makan. Jeffry berdiri dari tempatnya duduk, dan mulai membangunkan para adik-adiknya yang ketiduran, dibantu Mattew, Samuel, dan Darel.

Mereka makan malam dengan suasana tenang, tidak ada keributan seperti biasanya karena beberapa dari mereka sudah kelelahan.

“Habis ini jangan langsung tidur, biarin makanannya turun dulu, ya,” kata Jonathan memperingatkan ketika mendengar Januar mengatakan akan langsung tidur sehabis makan malam.

Januar mengangguk saja, mengurungkan niatnya untuk segera tidur.

Setelah makan, mereka membantu mencuci piring, lalu kembali berkumpul di ruang santai. Hazel dan Samuel tidak lagi tertarik untuk karaoke, mereka akhirnya hanya memutar film di TV untuk ditonton bersama.

Tidak sengaja, mereka malah ketiduran di ruang santai hingga fajar tiba.

Pagi hari, Satria keluar dari kamarnya dan menemukan pemandangan para saudaranya yang tidur menempel satu sama lain. Pria itu menghela nafasnya, ingin membangunkan, tetapi tidak ingin mengganggu.

Ia mendekati Jonathan yang tidur di atas sofa, lalu menepuk pundaknya berkali-kali, berusaha membangunkan adiknya itu.

Jonathan mengerang, perlahan-lahan ia membuka matanya dan menemukan Satria sedang berdiri menatapnya.

“Kenapa, Kak?” tanyanya dengan suara parau.

“Temenin gue beli sarapan, mumpung yang lain masih tidur,” pinta Satria.

Jonathan tidak menolak, ia segera bangkit dari posisi tidur dan meregangkan badannya sedikit. Keduanya pergi dengan Jonathan yang menyetir.

Sekitar satu jam kemudian keduanya kembali dengan membawa 13 bungkus makanan untuk sarapan mereka hari itu. Ternyata, para saudaranya sudah bangun, dan sekarang sedang berkumpul di pinggir kolam. Satria dan Jonathan membawa sarapan ke halaman belakang, yang disambut oleh Hazel dan Samuel dengan bersemangat.

“Makanan tiba!” teriak Hazel sambil berlari ke arah kedua kakaknya bersama Samuel.

Beberapa yang sudah masuk ke dalam kolam kembali naik ke daratan. Mereka ingin sarapan terlebih dahulu sebelum menghabiskan tenaga di dalam air pagi itu.

“Jam berapa lo bangun, Sat?” tanya Jeffry di sela-sela makan mereka. “Tadi gue nggak lihat jam, sih. Pokoknya, gue nggak langsung bangun tadi, gue lanjut tidur lagi. Terus, pas bangun gue nggak lihat Waniar sama Vincent di dalam kamar, kan, makanya gue mikir kalau udah kesiangan, taunya pada tidur di ruang santai.”

“Iya, buset, semuanya pada kecapekan,” Hazel menimpali.

“Berarti, kemaren malam lo bener-bener nggak keluar sama sekali dari kamar?” Melvin bertanya.

“Gue keluar pas kalian nonton, tapi akhirnya gue milih buat tidur duluan, karena kalian pasti lama kalau nonton.”

“Berarti lo udah beres waktu kita lagi nobar, ya?” Sebagai jawaban dari pertanyaan Darel, Satria mengangguk.

“Lama, anjir. Dari sore, kan, kemaren?” Lagi-lagi Satria mengangguk.

“Emang pekerja keras Bapak satu ini, bisa kali 10 juta masuk rekening,” goda Jeffry yang baru saja menyelesaikan makannya.

“Iya, bisa diatur,” balas Satria santai, yang disusul para saudaranya yang ikut meminta uang jajan padanya.

“Iya, nanti semua dapet bagian, kok,” ucap Satria menenangkan keadaan.

Setelah sesi sarapan pagi itu, Ravindiar bersaudara kembali pada aktivitas mereka, berenang. Mereka baru selesai pada tengah hari itu, di saat matahari mulai terik menyinari. Satria menyuruh Jeffry dan Jonathan untuk tetap tinggal saat para adik-adiknya beranjak untuk membersihkan diri.

“Kenapa?” tanya Jeffry cepat.

“Setelah ini kita ngapain?” Satria balas bertanya.

“Makan, mungkin?” Jeffry mengedikkan bahu, menjawab sesuai apa yang ada dipikirannya.

“Setelah itu?”

“Katanya mau pada pergi main flying fox.” Jonathan yang menjawab.

“Di mana tempatnya?”

“Nggak jauh dari tempat kemaren. Usulannya si Melvin.”

Satria terlihat berpikir, lalu mengangguk, “Okay, tapi gue nggak ikut hari ini.”

Jeffry terlihat akan protes, sebelum Satria melanjutkan perkataannya, “Ada kerjaan yang belom beres, Jeff. Nggak bisa gue tinggalin.”

Jeffry memutar bola matanya kesal, tetapi tidak protes.

Satria beranjak dari tempatnya duduk, hendak kembali ke kamar untuk melanjutkan pekerjaannya.

“Nanti malem kita makan di luar, gue udah reservasi tempat. Jadi, jangan pulang kemaleman, ya,” ucap Satria sebelum ia benar-benar pergi.

Ravindiar bersaudara meninggalkan rumah pada pukul 3 sore. Sesuai rencana awal, mereka akan kulineran sambil berangkat menuju villa yang dituju. Mobil yang disetir oleh Jonathan diisi oleh Vincent, Jeffry, dan Mattew. Mobil yang disetir oleh Melvin diisi oleh Hazel, Darel, Samuel, dan Davian. Sedangkan mobil yang disetir oleh Waniar diisi oleh William, Satria, dan Januar.

Setelah satu setengah jam menyetir, mereka akhirnya melipir ke pinggir jalan setelah melihat penjual durian. Semuanya turun, kecuali William dan Vincent yang tidak menyukai buah berbau menyengat itu. Sesudah itu, mereka kembali melanjutkan perjalanan hingga menemukan tukang sate di pinggir jalan. Mereka kembali turun untuk mengisi perut pada petang itu. Setelah makan, mereka kembali melanjutkan perjalanan dan kembali berhenti di beberapa tempat untuk kulineran.

Pukul setengah delapan malam, mereka akhirnya tiba di villa, tempat mereka menginap. Pembagian kamar dilakukan oleh kakak-kakak tertua mereka.

“Ini kamar yang gede ada 3, yang kecil ada 4. Yang gede cukup untuk 3 orang, dan yang kecil untuk 2 orang. Kalau mau, kita pake semua kamar yang gede sama 2 kamar yang kecil aja, 3-3-3-2-2, gimana?” tanya Satria menawarkan.

“Boleh, Kak.”

Okay, deh. Kamar pertama, yang di ujung, bakal ditempati gue, Vincent, sama Waniar, ada yang keberatan?”

Tidak ada protes, Satria melanjutkan. “Kamar kedua, di samping kamar gue, bakal ditempati Januar sama William, gimana?”

Keduanya mengangguk setuju, dan langsung mengambil kunci kamar dari sang Kakak ketiga.

“Kamar ketiga, bakal ditempati Jeffry dan Darel, nggak protes, ya,” ucap Satria sambil menatap Jeffry.

“Lah, kenapa cuman bagian gue yang nggak boleh protes, anjir,” ujar Jeffry tidak terima sambil berjalan menuju Jonathan untuk mengambil kunci kamar.

Satria menggeleng saja, kemudian melanjutkan, “kamar keempat, ditempati Davian, Jonathan, dan Mattew, ya. Berarti kamar yang ujung kiri di tempatin sama Hazel, Samuel, dan Melvin. Sampai di sini, ada yang keberatan?”

Semuanya menggeleng, lalu Satria menyuruh mereka untuk menuju ke kamar masing-masing, ia juga memperingati mereka agar tidak terlalu ribut saat malam hari.

Satria menyuruh Vincent untuk membawakan barang-barangnya, sedangkan dia akan menaruh beberapa barang belanjaan yang tadi siang ia beli di dapur. Dengan ditemani oleh Jonathan dan Melvin, mereka membawa 3 kardus besar berisikan berbagai macam makanan dan minuman.

Saat mereka kembali, ruangan santai yang tadinya sepi sudah ramai dengan Samuel dan Davian yang berebutan hendak memutar lagu. Satria menggeleng-gelengkan kepala saja, sepertinya ia tidak akan ikut kegiatan mereka malam itu.

Di dalam kamar, Satria menemukan kedua adiknya yang sudah berbaring di atas kasur king size di tengah ruangan. Di sebelah kasur king size tersebut, terdapat satu kasur berukuran single, yang sepertinya akan menjadi tempat tidur Satria.

“Kalian nggak ikut di bawah?” tanya Satria sambil merebahkan dirinya ke atas kasur.

Vincent menggeleng, sedangkan Waniar malah balik bertanya, “mereka lagi karokean?”

“Iya, lo mau ikutan?”

Sebagai jawaban, Waniar beranjak berdiri dari tempatnya berbaring. “Gue mau ikutan,” katanya sebelum keluar dari kamar.

Setelah makan malam dengan beberapa tamu undangan, dan bercengkerama selama berjam-jam, akhirnya acara ulang tahun Darel selesai juga. Tapi tidak hanya sampai di situ, karena para Ravindiar bersaudara harus membersihkan halaman belakang rumah yang dipakai hari itu. The mothers dan Ayah tidak ikut membantu, karena Satria menyuruh mereka untuk segera beristirahat.

Sambil mengembalikan meja dan beberapa kursi yang dipakai, Hazel, Melvin, Januar, dan Davian sibuk sendiri menghabiskan kue yang tersisa.

“Ya ampun, makan terus kerjaannya dari tadi, bantuin dikit dong,” protes Jeffry yang sedang mengangkat meja kecil dengan kedua tangannya.

Hazel yang baru saja memasukan potongan besar kue langsung mengatupkan kembali mulutnya.

“Kan, tadi kita juga ikut kerja, Kak. Ini baru bentar doang istirahatnya,” jawab Melvin yang baru saja menelan kue di dalam mulutnya.

“Kerja apanya, anjir. Dari tadi gue lihat kalian asik makan aja,” Samuel ikut memprotes di belakang Jeffry.

Januar cangar-cengir saja, tiba-tiba ia berdiri dari tempatnya dan berjalan menuju tempat beberapa kursi ditumpuk. “Itu, sana, ngikut Januar ngangkat kursi,” ucap Jeffry, kemudian berlalu dari hadapan ketiga adiknya.

Davian meringis pelan, kemudian ikut beranjak untuk membantu. “Kuenya dibawa masuk dulu, Zel, lu bantu di dalem aja,” kata Melvin yang ikut berdiri untuk membantu.

Hazel mengangguk saja dengan mulut penuh, tak lama ia beranjak sambil membawa kue yang masih tersisa. Memasuki pintu, Hazel langsung dikomentari oleh Mattew yang sedang mencuci piring. “Lo bisa nggak, sih, jangan makan terus?” sinis Mattew dengan wajah datarnya.

“Udah, biarin aja, Matt,” ucap William yang membantu Mattew mencuci piring. Hazel tersenyum tipis, kemudian berjalan melewati keduanya untuk meletakkan kue yang tersisa di dalam kulkas.

“Gue bisa bantu apa, nih?” tanya Hazel kemudian.

“Bantuin Kak Satria beresin ruang tamu, sana. Ada Waniar juga,” jawab Mattew masih dengan nada sinis. Tanpa membantah lagi, Hazel langsung menuruti perkataan sang adik, ia sudah capek berurusan dengan mulut-mulut pedas para saudaranya.

“Kak, gue bisa bantu apa di sini?” tanya Hazel yang berdiri di depan lorong masuk ruang tamu.

Satria menoleh, kemudian berpikir sebentar. “Bantu ambil barang, sekalian check out hotel, bisa?” ucap Satria sambil menatap Hazel.

“Gue sendirian?” tanya Hazel ragu-ragu.

Satria hanya tertawa kecil, lalu menggeleng. “Nanti bareng Jonathan sama Darel. Mereka lagi gue suruh nunggu vendor di luar, sih, jadi tunggu aja,” jawab Satria, setelah itu kembali kepada pekerjaannya lagi.

Karena dirasa sang sulung tidak memerlukan bantuan apa-apa, Hazel akhirnya memutuskan untuk menyusul kedua saudaranya yang sedang berada di luar rumah. Angin malam membuat Hazel harus melepas gulungan lengan kemejanya. Dalam hati, ia merasa sudah lama tidak merasakan angin malam seperti ini, dalam arti lain, ia rindu dengan angin malam di Indonesia.

“Zel, kenapa keluar?” tanya Jonathan yang sedang duduk di halaman depan rumah bersama Darel. Keduanya memakai jaket hitam, dan kemeja yang dipakai saat acara tadi.

“Disuruh Kak Satria ikut elo, Kak,” jawab Hazel sambil berjalan mendekat. Jonathan mengangguk saja, lalu menarik satu kursi di dekatnya untuk diduduki Hazel.

Hening beberapa saat, sampai ketika Jonathan tidak sengaja melirik Hazel yang terlihat sedang menikmati angin malam. Jonathan tersenyum tipis, lalu bertatapan dengan Darel yang berada di seberangnya.

“Kangen, ya, Zel?” tanya Jonathan sambil mengalihkan pandangannya kepada sang adik.

Hazel berbalik, lalu tersenyum. “Gimana nggak kangen, udah lama gue nggak pulang, Kak.”

“Ya, lagian, lo sibuk banget, Kak,” ujar Darel, ikut dalam percakapan.

Hazel diam lagi, terlihat raut sedih dari wajahnya yang membuat Jonathan menggeser kursinya mendekat, begitu juga dengan Darel.

“Sumpah, gue bersyukur banget masih punya waktu buat kumpul lagi sama kalian, walaupun sebentar,” ucap Hazel, kemudian berbalik menatap Darel yang duduk di sebelahnya.

“Makasih, ya, Rel,” tambahnya.

Darel tersenyum, lalu merentangkan tangannya untuk bisa meraih bahu sang kakak. Rangkulan Darel diterima Hazel yang membalas rangkulannya.

“Nikmatin waktu lo di sini, Zel. Kita nggak bakal tau, kapan kita bisa ngumpul bareng kayak gini lagi. Hargai waktu yang ada,” ucap Jonathan sambil mengelus punggung Hazel.

“Makasih, ya, Rel. Jadi nggak enak, nih, dikasih makan terus,” ucap Julio saat baru saja menutup pintu mobil.

“Santai, bro. Lagian, gue nggak bakal bisa ngabisin kue dari kakak gue sendirian,” balas Darel sambil melangkah bersama Karel di sebelahnya. Bian dan Mentari jalan di belakang keduanya, dan Julio menyusul dari belakang mereka.

“Tapi orang rumah lu nggak masalah, kan, kalau kita mampir?” tanya Karel.

“Nggak masalah, kok. Malah bagus, soalnya nggak akan ada yang makan kue selain gue,” jawab Darel yang telah sampai di depan pintu rumahnya.

Darel diam sejenak, merasa ada sesuatu yang aneh, tetapi ia tetap mendorong pintu rumahnya hingga terbuka separuh. Ruangan gelap dan pengap, membuat Darel mengernyitkan keningnya.

Darel melangkah sedikit, hendak memastikan jika masih ada kehidupan di dalam rumah tersebut. Tak lama kemudian lampu dinyalakan, disusul oleh bunyi ledakan confetti dan seruan ‘selamat ulang tahun’ dari beberapa orang yang muncul dari balik tembok.

Darel menganga tidak percaya, tidak menyangka jika beberapa kakaknya datang di saat ia ulang tahun. Belum sempat berkata-kata lagi, Darel sudah dihadiahi lemparan tepung dari sampingnya. Januar tertawa dengan melengking setelah melempari sang adik dengan seloyang tepung.

“Selamat ulang tahun, Dek,” seru Januar girang.

Serangan selanjutnya datang dari depan, Samuel melempari sang adik dengan seloyang tepung lagi. “Selamat ulang tahun, Dek!” seru Samuel sambil melipir ke pinggir.

Serangan terakhir datang dari Hazel yang memasuki ruangan dengan topeng Iron Man-nya. “Siap-siap serangan terakhir datang dari Kapten Hazel!” seru pemuda dengan mata sipit itu sebelum melemparkan seloyang besar tepung yang ia bawa.

Darel menghela nafasnya berat saat semua serangan telah selesai. Ia tidak menyangka akan mendapat serangan bertubi-tubi dari sang kakak, apalagi Hazel yang tidak disangka-sangka akan datang saat ulang tahunnya.

Satria menarik tangan sang adik, menuntunnya untuk berjalan beberapa langkah hingga Darel dapat melihat dapur rumahnya yang penuh dengan dekorasi. Pada pintu kaca yang menghubungkan halaman belakang dan rumah utama, ditempelkan beragam fotonya dari ia kecil hingga foto yang baru saja diambil beberapa minggu lalu. Tidak hanya itu, beberapa fotonya bersama sang kakak-kakak juga ikut ditempelkan di sana.

Saat sedang sibuk melihat beberapa foto yang ditempelkan, Darel tidak sadar bahwa dari tadi ada beberapa sosok di belakang pintu kaca yang sedang menunggunya. Pintu kaca itu ditutupi kain hitam, sehingga Darel tidak tahu bahwa masih ada beberapa hal lagi yang kakak-kakaknya siapkan.

Tanpa kata, Januar membuka pintu kaca tersebut, dan menarik Darel untuk segera melewati pintu tersebut. Darel mengikuti saja, ia menyibakkan kain hitam tersebut, dan segera menemukan Davian yang sedang berdiri bersama Melvin, Mattew, dan Jeffry. Mereka menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ secara bersamaan, dan membiarkan Darel untuk berjalan mendekati Davian yang membawa kue.

Setelah nyanyian selesai, Satria menyuruh Darel untuk mengucapkan permohonan. Darel berpikir sejenak, lalu menutup matanya. Setelah selesai, Darel langsung mengipas beberapa lilin yang menancap pada kue.

Darel tersenyum sambil menatap satu persatu kakak-kakaknya yang telah datang hanya untuk merayakan ulang tahun bersamanya. Ia meraih tangan Satria yang berdiri tepat di sebelahnya, “Makasih, Kak. Makasih udah ngumpulin semuanya di sini,” lirih sang adik.

Satria menarik Darel kepelukannya, diikuti Jeffry dan Jonathan yang memeluk keduanya dari belakang. “Ini nggak mau pada gabung, apa? Canggung banget pelukan cuman berempat, anjir,” protes Jeffry ketika tidak ada lagi yang bergabung dalam pelukan mereka.

Dengan bersemangat, Hazel, Melvin, Davian, Samuel, dan Januar ikut bergabung. Sedangkan Mattew, Waniar, William, dan Vincent dengan ragu-ragu merentangkan tangan mereka dan ikut bergabung.


Setelah melepas pelukan mereka satu persatu, Samuel langsung berjalan menuju tempat teman-teman Darel berdiri. Ia juga menarik Vincent untuk ikut bersamanya. Darel yang melihat itu, menyusul dari belakang, sepertinya Samuel dan Vincent ingin berkenalan dengan temannya.

“Halo,” sapa Samuel menginterupsi percakapan Julio dan kawan-kawan.

“Eh? Halo, Kak.” Julio membalas sapaan Samuel sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.

“Julio, kan? Kenalin, gue Samuel yang minta bantuan lo kemarin,” sambung Samuel.

Julio sontak langsung menyalami Samuel yang berdiri di depannya, ternyata mereka sudah saling mengenal.

“Halo, Kak. Maaf tadi nggak kelihatan, jadinya gue nggak tau.” Samuel tertawa saja, lalu memperkenalkan Vincent kepada Julio.

“Makasih, ya, udah mau bantuin,” kata Samuel sesaat kemudian.

“Santai aja, Kak. Kan, buat ulang tahun Darel, jadi nggak masalah.”

“Lho, kalian kenalannya kapan?” tanya Darel yang baru saja menyimak pembicaraan keduanya.

“Belum lama, kok, kayaknya baru seminggu yang lalu,” jawab Julio.

“Lo ngajak kenalan temen gue?” tanya Darel kepada Samuel.

“Iya…, kenapa emangnya?” Darel menggeleng saja, tidak ada masalah serius.

“Eh, by the way, Makasih banyak, ya, udah mau temenan sama Darel,” kata Samuel sambil meraih tangan Julio yang berdiri tak jauh darinya.

“Gue nggak tau lagi gimana nasib Darel kalau nggak ada kalian, mungkin bakal sendirian selamanya,” lanjut Samuel dengan sedikit dramatis.

“Apaan, dah. Nggak separah itu juga kali,” protes Darel tidak terima.

Mentari tertawa kecil saat menonton pertengkaran kedua kakak-beradik itu. Tak lama, mereka sudah dipanggil bergabung. Kegiatan selanjutnya adalah makan kue bersama-sama.

“Ini nggak sekalian manggil Melati ke sini?” tanya Jeffry dengan nada berbisik kepada Satria.

“Keluarganya lagi nggak di rumah, jadi kata Ayah nanti aja makan malam,” jawab Satria sambil menggoyang-goyangkan sedikit gelas soda di tangannya. Jeffry mengangguk saja, kemudian berpindah tempat ke samping Januar.

Setelah memakan kue dan mengobrol banyak, Julio, Melati, Bian, dan Karel pamit untuk pulang. Masih ada beberapa tugas kuliah yang harus mereka selesaikan hari itu.

Ravindiar bersaudara menuntun ke-empatnya keluar dari rumah hingga meninggalkan kediaman keluarga mereka.

“Tadi pas ditanya, kalian jawab apa?” tanya Jeffry sesaat setelah mereka kembali memasuki rumah.

“Sepupuan,” jawab Januar, Waniar, Samuel, Hazel, dan Davian hampir berbarengan.

Jeffry mengangguk mengerti. Rahasia mereka masih tersimpan dari teman-teman Darel.

Sepulang kuliah, Darel langsung membawa teman-temannya mengunjungi rumah keluarga Ravindiar. Ketika melewati pos keamanan, Karel langsung berdecak kagum. Pasalnya, rumah keluarga Ravindiar terletak di dalam sebuah perumahan elit di kota itu. Julio yang sedang menyetir sudah biasa melewatinya, karena secara kebetulan keluarganya tinggal di kawasan elit tersebut.

“Baru kali ini gue ke sini. Kenapa lo nggak pernah ngajak kita ke sini, Jul?” protes Bian kepada Julio.

“Kalian pasti nanti nggak percaya kalau gue itu tajir,” jawab Julio setengah mencibir.

“Soalnya tampilan lo tidak mencerminkan orang tajir, Jul,” sahut Mentari yang duduk di kursi depan sambil tertawa.

“Jahat banget lu sama gue, Tar,” ucap Julio dengan nada sedih. Ketika melewati blok rumahnya, ia hanya menoleh sekilas, lalu bertanya kepada Darel.

“Rel, rumah lu blok berapa?”

Darel yang dari tadi diam langsung tersentak kaget. “Apa? Oh, blok H, yang paling belakang.”

Mendengar itu, Julio sontak terkejut. “Blok itu nggak bisa sembarangan orang masuk, lho, Rel. Keamanannya ketat banget, gue aja waktu itu dicegat, nggak boleh masuk kalau nggak ada kartu khusus atau izin khusus, gitu.”

“Aman itu, ada gue kok,” kata Darel menenangkan. Julio mengangguk, percaya saja kepada Darel.

Mereka diberhentikan di depan palang pos satpam blok rumah Darel. Julio menurunkan kaca kemudi, agar dapat berbicara kepada satpam yang berjaga.

“Selamat siang, bisa saya lihat kartu atau izin khususnya?” tanya sang satpam kepada Julio.

Darel ikut menurunkan kaca, “selamat siang, Pak. Ini kartu saya,” ucap Darel sambil menunjukan sebuah kartu berwarna putih.

“Mas Darel? Baru pulang?” tanya sang satpam saat melihat wajah Darel.

“Iya, Pak. Bareng sama temen-temen saya juga,” jawab Darel sambil tersenyum ramah.

“Oke lah, kalau begitu. Silakan masuk, Mas.” Akhirnya mereka diizinkan untuk masuk. Julio sedikit takjub, ternyata temannya tinggal di blok khusus pada perumahan itu.

“Anjir, rumahnya gede-gede, cok,” celetuk Bian yang duduk di kursi paling belakang.

“Wah, gila. Keluarga lo setajir apa sih, Rel? Sampai bisa tinggal di kawasan khusus gini,” tanya Julio dari kursi kemudi.

“Ntar juga lo tau sendiri,” jawab Darel seadanya. Ia tidak ingin membahas tentang pencapaian keluarganya saat ini.

“Rumah lo nomer berapa? Masih jauh, nggak?” tanya Julio lagi.

“Nomer 14, di samping rumah yang pager merah,” jawab Darel sambil menunjuk rumah berpagar merah menyala yang selalu ia cibir.

“Ada, ya, orang yang pakai pager merah kayak gitu,” celetuk Bian dengan ekspresi heran.

“Gue juga nggak ngerti, sih,” sambung Darel ikut heran.

“Yang ini, ya?” Pertanyaan Julio membuat semua perhatian tertuju pada rumah tak berpagar di hadapan mereka.

“Iya, yang itu,” jawab Darel. Mobil yang mereka tumpangi memasuki halaman rumah keluarga Ravindiar.

“Halaman rumah lu luas bener, Rel. Jadi bingung mau parkir di mana,” celetuk Julio.

Darel tertawa saja, dan menyuruh Julio untuk parkir di depan garasi saja. Halaman rumah keluarga Ravindiar sangatlah luas, membuat Julio sedikit bingung akan memarkirkan mobilnya di mana.

Saat turun dari mobil, Darel langsung menuntun teman-temannya untuk masuk ke dalam rumah. Keadaan rumah Darel sudah bisa terlihat dari luar, membuat Mentari semakin penasaran keadaan di dalam rumah pemuda itu.

“Selamat datang, guys, di rumah gue,” ucap Darel sesaat setelah mereka semua masuk ke dalam rumah.

Keempat temannya berdecak kagum, bahkan Karel sudah memisahkan diri untuk melihat beberapa foto yang tergantung pada dinding di dekat mereka.

“Eh, sudah tiba rupanya.” Suara Bunda membuat Darel berbalik, lalu tersenyum.

“Kenalin, guys. Ini Bunda gue.”

Sontak, keempatnya langsung menyalami Bunda secara bergantian.

“Bun, kenalin, ini temen-temenku. Ini Julio, ini Bian, ini Melati, dan yang di ujung sana itu Karel.” Darel memperkenalkan satu persatu temannya.

“Halo, saya Bundanya Darel, semoga bisa temenan terus sama Darel, ya.”

Tak selang beberapa lama, tiba-tiba Ibu dan Mami keluar dari ruang tamu. “Eh, teman-temannya Darel sudah tiba?” ucap Ibu dengan kaget.

“Iya, barusan baru tiba,” jawab Bunda dengan senyum di wajahnya.

Darel melirik teman-temannya, merasa bimbang. Apakah ia harus memperkenalkan the mothers kepada teman-temannya?

Darel mengalihkan pandangannya kepada Ibu. Suasana menjadi sedikit aneh, membuat Mentari menggamit lengan Julio yang juga sedikit bingung.

Ibu memberi kode kepada Darel dengan menggelengkan sedikit kepalanya. Namun, Darel sepertinya tidak menangkap maksud dari kode yang diberikan Ibu.

“Hm, guys. Kenalin, ini-”

“Kami sahabat Bundanya Darel,” ucap Ibu memotong perkataan Darel.

Darel menoleh sedikit, melemparkan tatapan bertanya. Apakah tidak apa-apa seperti ini?

“Ah, iya. Kami berdua dan beberapa teman lainnya sedang berkunjung juga ke sini,” tambah Mami.

“Tante dan beberapa teman memang berteman sejak dahulu, bahkan sebelum Darel lahir. Mereka yang ikut menjaga Darel dari kecil, begitu juga tante dan teman-teman tante menjaga anak satu sama lain,” tambah Bunda sambil menunjuk Mama, Ibun, dan Mommy yang baru memasuki kawasan rumah utama.

“Wah, pertemanannya keren banget,” kata Mentari berdecak kagum.

Bunda tertawa canggung sambil melirik Ibu, ini terasa salah.

Julio, Bian, dan Karel hanya diam saja, merasa bingung. Entah kenapa atmosfer di dalam rumah ini terasa aneh.

“Darel, mau main di mana? Biar nanti Bunda siapin snack sama minuman,” tanya Bunda.

“Kayaknya kita makan siang aja dulu, Bun. Terus nanti kita mainnya di ruang santai aja,” jawab Darel dengan gerakan canggung.

“Oke. Kalau begitu tunggu sebentar, Bunda siapin dulu,” kata Bunda sambil mengajak Mami dan Ibu ke dapur.

“Eh, Tante. Aku bantu boleh, nggak?” tanya Mentari sebelum Bunda berbalik pergi.

“Tidak usah, kamu kan tamu, jadi tidak boleh, ya,” larang Bunda.

Mereka akhirnya menunggu di ruang tamu, di mana lokasi paling aman untuk Darel saat ini.

Ia sangat bingung dan merasa tidak enak dengan the mothers, karena harus terus-terusan bersembunyi begini.

“Rumah lu gede juga, Rel.” Perkataan Julio langsung membuyarkan lamunan Darel.

“Nggak juga,” balas Darel sembarangan, ia tidak tahu harus membalas apa.

“Nggak apanya, cok. Padahal masih ada paviliun di sebelah, tadi gue lihat,” protes Bian tidak terima.

Darel meringis saja.

“Rumah segede ini cuman lo sama Bunda lo yang tinggalin?” tanya Karel yang duduk di sebelah Julio.

“Nggak lah. Dulu ada kakak-kakak gue, tapi mereka pada merantau sekarang,” jawab Darel.

Setelah itu hening, tidak ada yang membuka suara lagi. Sampai Bian tiba-tiba bertanya, “Gue penasaran deh, lo ada berapa bersaudara, Rel?”

Darel diam saja, ia bingung bagaimana menjawab pertanyaan yang satu itu. Untungnya suara Bunda mengalihkan perhatian mereka kepada Darel.

“Ayo, makanannya udah siap. Oh, iya, nanti kalau butuh apa-apa, langsung ke paviliun belakang aja, ya, Rel. Atau nggak chat Bunda aja.”

Darel mengangguk, kemudian menyuruh teman-temannya untuk mengikutinya menuju ke ruang makan.


Waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Setelah main selama beberapa lama, Julio, Karel, Bian dan Mentari akhirnya pamit untuk pulang. Masih ada tugas yang harus mereka selesaikan hari itu. Darel mengantar mereka hingga teras rumahnya, hendak mengucapkan salam perpisahan.

“Makasih buat hari ini, ya, Rel,” ucap Mentari kepada Darel yang berdiri di sampingnya.

“Iya, sama-sama,” balas Darel singkat.

“Makasih juga buat makan siangnya, Rel. Enak banget makanannya tadi,” tambah Bian.

“Iya, sama-sama. Jangan lupa mampir lagi, ya, nanti,” balas Darel sambil merangkul Bian yang berdiri tak jauh darinya.

“Gila, kalau nggak temenan sama lo, pasti gue nggak akan pernah masuk ke kawasan khusus ini, Rel,” kata Julio yang sedang mengamati sekitar halaman rumah Darel.

“Nanti juga lo sering ke sini, Jul. Percaya deh.”

“Oke lah, kalau gitu kita duluan, ya, Rel. Sampai ketemu di kampus.” Karel menepuk bahu Darel sekilas, lalu mulai berjalan mengikuti Julio yang sedang melambai kepada Darel.

Darel balas melambai, juga membalas senyuman Mentari kepadanya. Hari ini ia cukup puas, dan lelah. Banyak hal yang ia lalui hari ini.

Setelah mobil Julio keluar dari halaman rumah Darel dan melaju pergi, si bungsu keluarga Ravindiar itu masuk ke dalam rumah. Ia harus bercerita kepada kakak-kakaknya tentang beban pikirannya sejak tadi.

Vincent datang pertama, diikuti Satria beberapa jam kemudian. Jeffry dan William datang sesuai rencana, begitu juga Samuel yang menyusul satu minggu kemudian. Ke-6 saudara itu berkumpul bersama kembali, walaupun rasanya tetap saja sepi tanya sisa saudara yang lain.

The mothers dan sang ayah tentunya senang akan kunjungan itu, karena rumah mereka kembali hidup setelah berbulan-bulan sepi. Banyak hal yang mereka lakukan bersama lagi, seperti mengobrol, memasak, menghabiskan waktu di pekarangan rumah, hingga jalan-jalan bersama lagi.

Pada malam hari, ke-6 bersaudara itu masuk ke dalam kamar Satria, mereka berencana untuk tidur bersama malam itu. Kasur milik Satria sudah dikuasasi oleh Darel, Jeffry dan Vincent, sedangkan sang pemilik berbergabung dengan William yang duduk di karpet. Samuel menguasai sofa, tentunya tidak ada yang bisa memprotes pemuda itu.

“Mau nonton apa ini?” tanya William yang sedang menekan-nekan remote TV, mencari film yang menarik.

“Avanger aja,” sahut Darel yang tidur dengan posisi tengkurap.

“Kebanyakan, anjir. Cari yang sekali nonton langsung selesai dong,” protes Samuel.

“Horror aja,” sahut Vincent tiba-tiba.

“Hah, ogah anjir,” kini giliran Darel yang protes.

“IT aja, Will,” ujar Jeffry tiba-tiba.

“Nah, iya. IT aja,” tambah Satria.

Perdebatan para bungsu terhenti tiba-tiba, mereka tidak berani jika memprotes pilihan sang kakak.

Film itu selesai dalam waktu 2 jam, dengan disertai teriakan-teriakan kaget dari Jeffry, Samuel dan Darel. Vincent sudah jatuh tertidur dengan posisi terlentang, ia seperti tidak peduli dengan isi film yang ditampilkan.

“Untung tidurnya rame-rame, kalau nggak pasti ada yang nggak bisa tidur,” celetuk William sambil melirik ke arah Darel.

“Apa sih, gue bisa kok tidur sendiri,” balas Darel tidak terima.

“Oh? Kalau gitu tidur sendiri sana, jangan gedror-gedor kamar gue nanti tengah malem, ya.” Darel langsung memasang wajah masam sambil menatap sang kakak sulung yang menggodanya.

“Jangan gitu, Sat. Ntar anaknya nangis ketakutan, lho,” ujar Jeffry sambil terkekeh pelan.

“Apaan sih, emangnya gue secengeng itu apa.”

“Heh, gue masih inget, ya. Beberapa malam sebelum gue sama Vincent pergi ngerantau kita sempet nonton horror, terus lo dengan sok beraninya tidur sendiri di saat gue sama Vincent tidur berdua. Taunya lo tengah malem ngegedor pintu gue, mohon-mohon supaya bisa tidur bertiga,” jelas Samuel mengingatkan kejadian memalukan yang Darel alami dulu.

“Hah, serius?” tanya William tidak percaya.

“Serius! Vincent saksi mata.”

Ke-5 bersaudara itu sontak berbalik melihat Vincent yang tertidur pulas. Mereka bingung, kenapa Vincent bisa tidur di antara suara teriakan-teriakan yang berada dekat dengannya?

“Ini anak bisa-bisanya tidur, anjir, pasti kalau diajak nonton bioskop dia bakal tidur doang,” celetuk William dengan tatapan heran.

“Nggak heran kalau orang-orang sebut dia ngebosenin,” ucap Jeffry sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sisa malam itu mereka habis kan untuk bercakap-cakap, mulai dari yang termuda hingga tertua mendapatkan bagiannya masing-masing.

“Kuliah lo gimana, Rel? Lancar?” tanya Satria di sela-sela keheningan.

“Lancar aja kok, Kak. Gue selama ini nggak pernah nunda tugas juga,” jawab Darel.

“Pertemanan lo? Kayak gimana?” giliran Samuel yang bertanya.

“Nggak gimana-gimana sih. Mungkin gue masih susah beradaptasi,” jawab Darel sambil mengusap tengkuknya.

“Nggak apa-apa, pelan-pelan aja, Dek,” kata Satria sambil mengusap paha adik bungsunya itu.

Satria beralih kepada Samuel yang duduk di sofa. “Kalau lo, gimana kuliahnya, Sam?”

“Lancar aja sih, Kak. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab Samuel santai.

“Emang nggak heran ya, sama ini social butterfly satu,” puji Jeffry. Samuel tertawa saja mendengar itu.

“Kan, Sam selalu bisa diandelin juga, jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan dari dia,” ucap William ikut memuji adiknya itu.

“Nah, kalau lo gimana kerjaannya, Will?” Kini giliran Jeffry yang bertanya kepada adik tengahnya.

“Nggak gimana-gimana. Akhir-akhir ini semuanya lancar, talent dan client gue juga puas dengan hasil yang gue kasih,” jawab William.

“Emang nggak usah diraguin lagi, William bakal selalu tuntasin kerjaannya,” ujar Satria sambil menepuk-nepuk bahu adiknya itu. William tertawa kecil, merasa malu jika digoda seperti itu.

“Kalau soal lo sama Fanny? Aman nggak?”

Pertanyaan Satria membuat William terdiam, entah kenapa ia tidak ingin membahas perihal hubungan asmaranya sekarang.

“Aman, Kak,” jawab William singkat.

“Beneran aman?” William mengangguk sebagai jawaban, ia tidak ingin masalahnya membuat kebersamaan malam itu menjadi suram.

“Ya udah kalau gitu. Lanjut deh, kalau lo gimana, Jeff? Kerjaan aman?” Satria beralih kepada Jeffry.

“Aman lah, gila. Kalau nggak aman pasti gue batal pulang,” jawab Jeffry dengan bangga.

“Baguslah, Kak. Kalau perihal pacar, gimana?” kini Samuel yang bertanya.

“Apaan pacar-pacar. Gue nggak punya. Lebih tepatnya nggak ada waktu buat ngurusin kayak gituan,” jawab Jeffry cepat.

“Idih, cari pacar sana, Kak. Inget umur,” ujar Darel.

“Lah, kalau masalah umur, gue kan sama kayak kakak kalian ini, jadi dia juga harus nyari pacar dong?” Jeffry menunjuk Satria yang dari tadi tertawa melihat Jeffry dijahili.

“Kok jadi gue? Kan tadinya lo yang ditanyain, anjir.”

Jeffry menjulurkan lidahnya, ia tidak terima jika dipojokan sendiri.

“Dengar ya, adik-adikku. Umur kita berdua emang udah matang, tapi kita berdua masih mau mikirin kerjaan sama keluarga dulu, soal pacar atau jodoh kan bisa nanti,” jelas Satria.

“Kelamaan nanti nggak ada yang mau lho, Kak.”

“Soal jodohkan Tuhan udah atur, Darel. Pasti bakal dateng cepet atau lambat, kok,” balas Satria sambil mengusap wajah adik bungsunya itu.

“Nah, itu dia. Pasti bakal dateng cepet atau lambat,” kata Jeffry setuju.

William diam-diam saja mendengarkan perkataan kedua kakaknya. Di dalam hati ia bergumul dengan masalahnya, memikirkan tentang hubungannya yang berada di ambang kehancuran.

Sebuah mobil berwarna hitam memasuki halaman rumah keluarga Ravindiar yang asri. Satria yang sedang mengobrol dengan tukang kebun mereka langsung berbalik. Wajahnya berubah cerah, dengan langkah cepat ia menghampiri mobil hitam yang baru saja berhenti.

Dua orang pemuda tinggi keluar dari dalam mobil. Yang lebih muda langsung menyadari kedatangan sang sulung, dan langsung tersenyum lebar kepadanya.

“Kak Satri! Apa kabar!” seru Davian riang.

“Dav! Jo! Kok baru tiba?” ucap Satria sambil merangkul Davian.

“Tadi kena macet dikit, mungkin karena lagi weekend,” jawab Jonathan tenang.

“Oh, gitu. Pantesan lama. Ayo sini masuk, the mothers udah nunggu kalian dari tadi.” Satria membantu kedua adiknya menurunkan bawaan mereka, sambil menanyakan kabar keduanya.

Baru saja mereka menginjakan kaki di dalam rumah, Bunda sudah datang memeluk Davian yang berada paling dekat dengannya.

“Davian! Jonathan! Selamat datang!” seru Bunda sambil mengelus-ngelus punggung Davian yang lebih tinggi darinya.

“Halo, Bunda. Apa kabar?” tanya Davian sambil balas memeluk.

“Baik, Davian. Bunda selalu baik.”

Tak perlu menunggu lama, dari atas muncul Ibun dan Mami. Keduanya dengan heboh berhamburan memeluk Davian dan Jonathan.

“Eh, Dav sama Jo udah dateng, sini makan dulu,” ujar Mama yang baru saja lewat di hadapan mereka.

“Iya, Ma. Nanti kita makan kok.”

Setelah melepas pelukan Ibun dan Mami, Davian dan Jonathan naik ke lantai atas, di mana kamar mereka berada. Satri masih berjalan di belakang mereka dengan santai, sambil membawa beberapa barang yang mereka bawa.

“Si Darel mana? Kok nggak kelihatan?” tanya Jonathan.

“Lagi keluar tadi, disuruh temenin Ibu,” jawab Satria. Jonathan mengangguk saja, kemudian mulai berbelok menuju lorong deretan kamar Ravindiar bersaudara. Kamar Jonathan berada di urutan ketiga, berhadapan dengan kamar Vincent, dan bersebelahan dengan kamar Januar di sebelah kiri, dan kamar Jeffry di sebelah kanan. Lorong kamar mereka lumayan luas, lebarnya bisa dilewati 3 orang sekaligus.

Kamar davian berada di ujung, bersebelahan dengan kamar William yang berada di tengah deretan kamar mereka, dan di sebelag kanan kamar Davian ada kamar Melvin.

Setelah menaruh barang-barang bawaan dan membersihkan diri, Jonathan dan Davian kembali turun untuk makan. Di tangga turun, mereka bertemu dengan mommy yang kaget akan kedatangan mereka.

Oh my gosh, Jo, Dav. Kalian kapan tiba? Kok mommy nggak sadar?” heboh wanita yang umurnya sebentar lagi akan menyentuh kepala 4.

“Barusan, mommy,” jawab Jonathan sambil memeluk mommy. Davian ikut memeluk wanita yang sudah menjaganya dari kecil.

Now, kalian mau ke mana? Apa kalian sudah bertemu Satria? Atau sudah bertemu ayah?”

“Kami sudah ketemu Satria tadi, mommy. Kalau ayah, kami belum bertemu.” Davian yang menjawab, sambil merangkul wanita itu agar mengikuti keduanya menuju ruang makan.

“Baiklah. Kalau begitu, apa kalian sudah makan? Mau makan dulu sebelum jalan-jalan?” tanya mommy, menawarkan diri untuk memasakan mereka makan siang.

“Sepertinya kami akan makan dulu, mommy. Soalnya Kak Satria belum tentuin mau ngajak kita ke mana,” jawab Jonathan sambil menyusul mommy ke dapur. Davian sendiri menunggu di ruang keluarga, ia sepertinya akan berlatih vokal sebelum makan.

Tak sampai sejam kemudian, hidangan simple sudah tertata rapi di atas meja makan mereka yang sangat besar. Jonathan dan Davian yang ditemani mommy makan dengan tenang.

Setelah makan dan membersihkan dapur, keduanya kembali berjalan menuju beranda rumah. Ibu dan Darel baru saja sampai, Jonathan dan Davian langsung bergantian memeluk Ibu dan adik bungsu mereka.

“Kalian udah makan? Ini ibu bawain roti dari bakery-nya Tante Lily,” tawar ibu dambil mengangkat kantong belanja.

“Udah makan barusan, bu. Simpan aja rotinya, nanti kalau aku sama Kak Jo udah balik, baru kita makan, ya?” kata Davian sambil membantu membawakan kantong belanja yang ibu bawa.

“Kalian baru mau jalan-jalan? Kirain udah tadi,” ucap Darel pelan, sambil pundaknya dirangkul oleh Jonathan.

“Kak Satri bilang, nanti jalan sama dia. Tunggu dia selesai kerja dulu,” Davian menjawab. Tadi ia baru mendapat pesan dari kakak sulungnya itu, untuk menunggu sampai ia menyelesaikan pekerjaannya.

“Kalau begitu, Darel temenin kalian dulu, ya? Nanti malam baru kalian jalan ber-empat, gimana?” usul sang ibu yang daritadi menyimak percakapan anak-anaknya.

Ke-tiganya setuju. Maka dari itu, setelah membantu merapikan belanjaan ibu siang itu, Jonathan, Davian dan Darel langsung pergi betiga untuk berjalan-jalan sebentar.