Permintaan
Melvin meneguk ludahnya dengan susah payah. Ia gugup setengah mati jika sudah dipanggil oleh Satria secara pribadi seperti ini bersama kedua saudaranya yang lain.
Melvin bersama Davian dan Mattew kini telah duduk sempurna di hadapan Satria yang menatap mereka dengan pandangan mengintimidasi.
“Kalian tau kenapa gue manggil kalian bertiga malam ini?” tanya Satria dengan suara rendah.
Dengan ragu-ragu ketiganya menggeleng. Tidak ada yang tahu alasan sebenarnya Satria memanggil mereka. Setelah makan malam bersama, Satria menyuruh Melvin, Davian, dan Mattew untuk mencuci piring. Sehabis itu, ia memanggil mereka secara pribadi saat para saudaranya sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Satria menghembuskan nafas pelan, bersiap untuk memulai pembicaraan serius dengan ketiga adiknya.
“Gue mau ngomongin tentang kuliahan kalian. Kali ini, nggak ada yang bisa ngelak.”
Saat itu, ketiganya sudah tau apa yang akan dibicarakan oleh si sulung.
“Ini udah berapa bulan? Kalian mau main-main sampai kapan?” ujar Satria lantang. Ekspresinya tenang, tidak ada raut marah di wajahnya, tetapi ketiga adiknya tak berani menatap sang Kakak.
“Davian, gue denger lo udah masuk tahap skripsian. Gue minta tolong untuk fokus, jangan sampai karena lo sibuk kerja, skripsi lo jadi keteteran. Jangan sampai tambah semester akibat kelakuan lo sendiri.” Davian menelan ludahnya dengan susah payah ketika merasakan bahwa Satria mengharapkan dirinya untuk lulus tepat pada waktunya.
“Iya, Kak. Gue usahain supaya bisa selesai semester ini.”
“Gue pegang kata-kata lo, Davian.”
Kini sang sulung beralih kepada Melvin. Ia menghela nafasnya lelah, sepertinya ia lelah untuk menasehati adiknya yang satu itu.
“Lo mau sampai kapan main-mainnya, Melvin. Waktu cuti lo udah habis, lho. Gue pokoknya nggak mau denger alasan lo lagi. Cepetan balik kuliah, atau lo nggak usah kuliah sama sekali mendingan.” Perkataan Satria membuat Melvin diam tidak berdaya. Kali ini, ia harus benar-benar menuruti kemauan sang kakak. Melvin tidak ingin ada penyesalan jika tidak mengikuti perkataan sang sulung.
“Lo juga, Matt. Gue nggak permasalahin, sih, karena lo juga masih semester tengah. Tapi, gue nggak mau kalau Samuel sama Vincent nyusul atau ngedahuluin lo, padahal lo masuk kuliah duluan. Jadi, gue mohon, tolong balik dan selesain kuliah lo tepat waktu.” Beralih kepada Mattew, pemuda itu terlihat datar saja, tetapi tetap mengangguk. Satria tau semua hal tentangnya, ia tidak bisa mengelak dari si kakak sulung.
Setelah berbicara bersama ketiga adiknya, Satria segera berpamitan untuk tidur. Tubuhnya terasa lelah, dan untungnya tidak ada perdebatan hebat malam itu.
Sepeninggalan Satria, ketiganya segera menarik nafas lega. Mereka baru saja melewati situasi yang menegangkan tanpa ada keributan dari sang kakak.
Satria memanggil ketiganya atas perintah sang ayah yang sudah sangat lelah dengan kelakuan mereka yang seperti tidak memperdulikan pendidikan, dan memutuskan untuk fokus kepada pekerjaan yang telah mereka dapatkan di usia muda. Menghindari pertengkaran yang akan terjadi, Satria akhirnya yang turun tangan untuk berbicara kepada ketiganya. Ia sangat tahu, kehidupan ketiga adiknya tidak semudah itu. Ia tidak ingin menekan mereka, tetapi permintaan sang ayah tidak bisa ia tolak.
Satria percaya kepada adik-adiknya, dan adik-adiknya mengikuti perkataannya. Ikatan persaudaraan mereka tidak bisa diukur menggunakan apa pun.