yoondiction

Setelah bertemu di lobby sekolah, Jehan dan Lintang segera pergi menuju restoran cepat saji yang tak jauh dari sekolah. Jehan segera memesan, begitu juga dengan Lintang yang sudah lapar.

Mereka memilih untuk duduk tengah ruangan ketimbang di pojokan. Jehan membawakan pesanan mereka, dan Lintang yang memilih tempat mereka duduk.

“Lin, nih pesenen kamu.” Jehan memberikan pesanan Lintang setelah gadis itu duduk.

“Makasih, kak,” kata Lintang sambil tersenyum kepada Jehan. Sang lelaki balas tersenyum, tak lama ia juga ikut duduk di hadapan si gadis.

Ada keheningan lama sebelum Jehan membuka pembicaraan.

“Kelas 11 masih padet ya, jadwalnya?”

“Iya, kak. Masih. Bahkan seminggu ke depan kita bakal lebih sering pulang sore,” keluh Lintang.

“Kamu kalau pulang sore gitu, biasanya dijemput sama siapa?” tanya Jehan lagi. “Biasanya sama kakak sih, cuman mereka biasanya juga sering keluar masing-masing, makanya aku sering pulang naik gojek,” jawab Lintang setelah mengunyah makanan di dalam mulutnya.

“Kok gak pulang bareng temen-temenmu? Kan lebih aman.” Jehan mengeryitkan keningnya bingung, merasa tidak senang.

“Beda kelas, kak. Aly sama Monna juga beda arah sama aku, terus si Nana biasanya pulangnya lebih cepet,” jawab Lintang.

“Kok si Nana pulangnya lebih cepet?”

“Dia kan IPS, kak.”

“Hah? Serius?” Jehan menoleh kaget, tidak menyangka.

“Iya, ih. Kakak baru tau?”

“Iya, baru tau banget ini. Aku gak nyangka dia anak IPS, padahal tampangnya kayak anak IPA banget.” Perkataan Jehan mengundang tawa Lintang.

“Padahal tampangnya IPS banget loh, kak.”

“Dari mana ya, Lintang?”

“Dari mukanya, kak.”

“Muka serius kayak dia itu khas anak IPA banget loh, Lintang.”

“Hah, kok gitu? Kakak coba lihat Monna sama Aly deh. Atau gak aku deh, mukanya serius kayak anak IPA enggak?”

“Ya, engga sih.” Jehan mengelus tengkuknya, mulai berpikir tentang perkataan Lintang tadi.

“Nah kalua begitu, soal jurusan itu gak bisa dilihat dari tampang, kak. Banyak kok yang mukanya serius di jurusan IPS, begitu juga banyak yang mukanya santai di jurusan IPA.”

Jehan mengangguk-angguk saja, ia sedang asik menikmati wajah Lintang yang sedang cemberut, lucu menurutnya.

“Udah?”

“Apanya?” tanya Lintang bingung.

“Udah ngomongnya?” perkataan Jehan dibarengi oleh senyuman khasnya yang membuat Lintang langsung terdiam mematung.

“Kamu kenapa langsung diem? Ngomong lagi dong.” Pipi Lintang menimbulkan rona merah tipis, membuat Jehan tertawa melihatnya.

“Apaan sih, kak. Cepetan selesaiin makannya gih, kapan pulangnya kalau gini terus.”

“Kamu juga cepet selesaiin makannya dong, biar bareng.”

Sisa waktu makan itu Lintang habiskan untuk mempercepat laju makannya, dan Jehan sibuk sendiri memperhatikan gadis di hadapannya.

Di saat Lintang sudah selesai dengan makanannya, Jehan kembali membuka percakapan. “Kamu kalau pulang sore terus, boleh pulang sama aku kok.”

Perhatian Lintang langsung mengarah kepada Jehan. Gadis itu awalnya ingin menolak, tetapi setelah menimbang-nimbang beberapa lama, ia akhirnya mengangguk.

“Tapi beneran gak ngerepotin kan, kak? Aku jadi gak enak,” tanya Lintang ragu.

“Beneran, Lintang. Aku gak pernah ngerasa direpotin sama kamu.”

Lintang mengangguk saja, merasa canggung. Dengan lirih ia juga berterima kasih kepada Jehan, dengan dibalas senyuman tipis milik pemuda itu.

“Halo, Ma. Novita udah nyampe nih, Novita harus gimana abis ini? Ke dalem apa nunggu aja?” tanya Novita kepada Mamanya di seberang telepon.

“Kamu ke dalem sini, Novita. Langsung masuk aja,” ujar sang mama.

Novita mendongkak sedikit untuk bisa melihat rumah besar di hadapannya. Dengan langkah ragu, gadis muda itu melangkah menuju pintu coklat yang tidak tertutup rapat.

“Permisi,” gumam Novita saat berjalan masuk ke dalam rumah besar tersebut.

“Novita! Sini!” Suara sang mama memenuhi rongga pendengaran Novita, gadis itu langsung tahu keberadaan mamanya hanya dari suara saja.

Tanpa kata, Novita langsung berlari memeluk wanita paruh baya yang berstatus mamanya itu.

“Novita kangen banget sama mama,” gumam Novita disela-sela pelukannya.

“Mama juga kangen banget sama Novita,” ucap sang mama.

Setelah sesi berpelukan selesai, Novita langsung dikenalkan dengan seorang wanita paruh baya berwajah ramah.

“Novita, kenalin. Ini Tante Tika, temen mama waktu SMA dulu,” kata ibunya mengenalkan.

“Halo, Tante Tika. Aku Novita.”

Tante Tika langsung menarik Novita ke dalm pelukannya. Awalnya Novita sangat canggung, namun ketika mendengar sebuag perkataan dari bibir Tante Tika, Novita langsung tersenyum kecil.

“Makasih, Novita. Makasih sudah mau menjadi kebahagiaan Aurel,” lirih wanita itu dalam pelukan.

Setelah pelukan mereka terlepas, Tante Tika langsung mengajak Novita dan mamanya untuk beranjak menuju ruang makan. Di atas meja makan, sudah tersedia banyak hidangan yang mengiurkan.

Novita langsung duduk di sebelah mamanya, sedangkan Tante Tika masih sibuk dengan pelayan rumahnya.

“Maaf ya, tante masih harus nyuruh anak tante buat gabung di sini.” Novita mengangguk saja, menandakan bahwa hal itu bukan apa-apa.

“Suami lo gak pulang, Tik?” tanya Mama Novita penasaran.

“Engga, Rel. Tadi pagi udah gue bekalin kok,” jawab Tante Tika santai.

Tak lama ada sebuah suara yang memenuhi ruang makan yang hening itu.

“Aku makan nanti aja deh, Ma. Aku lagi sibuk.” Suara berat milik anak Tante Tika memenuhi ruang makan.

“Gak boleh. Kamu makan di sini, sama tamu-tamu mama. Okay?”

Putra bungsunya mendengus sebal. Tanpa kata ia langsung bergabung di meja makan. Novita yang penasaran langsung mendongkak, pandangannya langsung bertemu dengan mata coklat milik pemuda itu.

“Loh? Vita?”

Novita tersedak, ia sungguh kaget dengan kehadiran pemuda itu di hadapannya.

“Lo..Fael? Rafael?”

Rafael tidak kalah terkejutnya, bahkan pemuda itu sampai menerjabkan matanya beberapa kali, sebelum sang mama mencubitnya pelan.

“Kamu kok kayak ketemu setan gitu sih?” Rafael meringis pelan mendapat cubitan itu. Ia tidak mempedulikan perkataan mamanya, perhatiannya hanya tertuju kepada Novita saja.

“Loh, kalian kenal?” tanya Mama Novita memandang keduanya bergantian.

“Dia temen sekelasku, Ma.”

“Vita ketua kelasku, Tante.”

“Oh, wow. Kebetulan macam apa ini?” Tante Tika menatap tidak percaya Mama Novita.

Setelah hening sejenak, tiba-tiba keempatnya tertawa lepas atas segala kebetulan yang terjadi. Tidak ada yang menyangka hal ini akan terjadi.

“Halo, Ma. Novita udah nyampe nih, Novita harus gimana abis ini? Ke dalem apa nunggu aja?” tanya Novita kepada Mamanya di seberang telepon.

“Kamu ke dalem sini, Novita. Langsung masuk aja,” ujar sang mama.

Novita mendongkak sedikit untuk bisa melihat rumah besar di hadapannya. Dengan langkah ragu, gadis muda itu melangkah menuju pintu coklat yang tidak tertutup rapat.

“Permisi,” gumam Novita saat berjalan masuk ke dalam rumah besar tersebut.

“Novita! Sini!” Suara sang mama memenuhi rongga pendengaran Novita, gadis itu langsung tahu keberadaan mamanya hanya dari suara saja.

Tanpa kata, Novita langsung berlari memeluk wanita paruh baya yang berstatus mamanya itu.

“Novita kangen banget sama mama,” gumam Novita disela-sela pelukannya.

“Mama juga kangen banget sama Novita,” ucap sang mama.

Setelah sesi berpelukan selesai, Novita langsung dikenalkan dengan seorang wanita paruh baya berwajah ramah.

“Novita, kenalin. Ini Tante Tika, temen mama waktu SMA dulu,” kata ibunya mengenalkan.

“Halo, Tante Tika. Aku Novita.”

Tante Tika langsung menarik Novita ke dalm pelukannya. Awalnya Novita sangat canggung, namun ketika mendengar sebuag perkataan dari bibir Tante Tika, Novita langsung tersenyum kecil.

“Makasih, Novita. Makasih sudah mau menjadi kebahagiaan Aurel,” lirih wanita itu dalam pelukan.

Setelah pelukan mereka terlepas, Tante Tika langsung mengajak Novita dan mamanya untuk beranjak menuju ruang makan. Di atas meja makan, sudah tersedia banyak hidangan yang mengiurkan.

Novita langsung duduk di sebelah mamanya, sedangkan Tante Tika masih sibuk dengan pelayan rumahnya.

“Maaf ya, tante masih harus nyuruh anak tante buat gabung di sini.” Novita mengangguk saja, menandakan bahwa hal itu bukan apa-apa.

“Suami lo gak pulang, Tik?” tanya Mama Novita penasaran.

“Engga, Rel. Tadi pagi udah gue bekalin kok,” jawab Tante Tika santai.

Tak lama ada sebuah suara yang memenuhi ruang makan yang hening itu.

“Aku makan nanti aja deh, Ma. Aku lagi sibuk.” Suara berat milik anak Tante Tika memenuhi ruang makan.

“Gak boleh. Kamu makan di sini, sama tamu-tamu mama. Okay?”

Putra bungsunya mendengus sebal. Tanpa kata ia langsung bergabung di meja makan. Novita yang penasaran langsung mendongkak, pandangannya langsung bertemu dengan mata coklat milik pemuda itu.

“Loh? Vita?”

Novita tersedak, ia sungguh kaget dengan kehadiran pemuda itu di hadapannya.

“Lo..Fael? Rafael?”

Rafael tidak kalah terkejutnya, bahkan pemuda itu sampai menerjabkan matanya beberapa kali, sebelum sang mama mencubitnya pelan.

“Kamu kok kayak ketemu setan gitu sih?” Rafael meringis pelan mendapat cubitan itu. Ia tidak mempedulikan perkataan mamanya, perhatiannya hanya tertuju kepada Novita saja.

“Loh, kalian kenal?” tanya Mama Novita memandang keduanya bergantian.

“Dia temen sekelasku, Ma.”

“Vita ketua kelasku, Tante.”

“Oh, wow. Kebetulan macam apa ini?” Tante Tika menatap tidak percaya Mama Novita.

Setelah hening sejenak, tiba-tiba keempatnya tertawa lepas atas segala kebetulan yang terjadi. Tidak ada yang menyangka hal ini akan terjadi.

Lintang menginjakan kaki di area kantin aambil menenteng buku paket dan catatannya. Tidak perlu mencari lagi ia langsung bisa melihat Jehan yang sedang duduk sendiri di tengah kantin.

“Kak Jehan,” panggil Lintang.

Jehan berbalik, dan melambai untuk menyuruh Lintang mendekat. Gadis yang ia panggil mendekat dengan riang, sepertinya ia sangat bersemangat pagi ini.

“Udah sarapan?” tanya Jehan sambil membuka sebotol air mineral di depannya.

“Udah kok kak, tadi sama Nana.”

“Nana itu yang mana ya? Belom pernah denger.”

“Itu loh kak, yang Nana Parwita.”

“Owalah, yang katanya galak itu?”

“Kata siapa kak?” Lintang menyemburkan tawanya, tidak tahan Nana dibilang galak begini.

“Kata Aly, dia bilang yang namanya Nana galak.”

Lintang belum habis dengan tawanya. Ia akui Nana memanglah galak, tetapi hal itu tidak berlaku untuknya. Nana di pandangan Lintang itu seperti anak kucing yang polos dan ceroboh.

“Iya mungkin menurut orang-orang si Nana galak, tapi dia gak gitu kok.”

“Oh, kalau lo? Galak juga gak?”

“Loh kok gue sih?”

“Engga nanya doang.” Jehan tertawa kecil, merasa gemas dengan respon Lintang.

“Katanya tadi mau bikin tugas, gimana sih?”

Lintang menepuk keningnya sendiri, ia sangat lupa dengan kewajibannya yang satu itu.

“Kerjain gih, gue tungguin,” kata Jehan singkat.


Benar saja, Jehan menungguinya hingga selesai Lintang mengerjakan tugas. Tak sampai di situ saja, bahkan Jehan menemani gadis itu hinggal bel masuk berbunyi.

“Gue duluan ya kak, makasih udah nemenin,” pamit Lintang. Namun sebelum ia benar-benar pergi Jehan kembali menahannya.

“Ini nomer gue, ntar ngobrolnya lewat situ aja ya,” kata Jehan sambil menyodorkan sebuah kertas yang dari tadi ia pegang.

Lintang menerimanya, setelah itu ia kembali berlari menuju kelasnya.

Lintang menguap beberapa kali sesaat setelah meinggalkan laboratorium fisika sekolahnya. Ia berjalan bersama salah satu teman sekelasnya, yang juga adalah tetangganya. Keduanya kini bersama ingin menuju parkiran untuk menunggu jemputan.

“Ngantuk In?” tanya si teman yang memanggilnya dengan sebutan Iin.

“Banget Re, begadang gue tadi malem,” jawab Lintang kepada Rena, teman sekaligus tetangganya.

Rena menggeleng-geleng saja. Tak sengaja ia melihat ke arah lapangan, di mana pasukan pengibar bendera mereka sedang berlatih di sana.

“Eh mereka latihan hari ini? Bukannya gak ada ekskul ya?” ucap Rena heran.

“Siapa Re?”

“Itu anak paskib, katanya kan ekskul belom mulai.”

Lintang ikut melihat ke arah pandang Rena. Ia meneliti satu persatu wajah yang ditampakan, siapa tau ada satu-dua orang yang ia kenal. Dan benar saja, ada satu wajah yang baru saja mencuri atensinya.

Si kakak kelas yang memecahkan kaca jendela kelasnya. Kakak kelas yang beberapa hari ini selalu ada dalam jarak atensi Lintang.

“Re, gue boleh nanya?”

“Hm? Nanya apa In?”

“Lo kenal itu gak, kakak kelas yang itu.” Lintang menunjuk si kakak kelas yang ia maksud, dan Rena mengikuti arah yang ditunjuk Lintang.

“Oh itu toh. Gue kenal tapi gak tau namanya coy, cuman sekedar tau muka masing-masing aja.”

Lintang mengangguk mengerti. Sepertinya si kakak kelas dikenal oleh semua orang di sekolah, tidak mengherankan lagi kenapa.

Malah Lintang merasa heran, kenapa dia harus mengenal pemuda itu dari eksiden kaca kelas-nya yang pecah.

Lintang menggeleng pelan, ia perlahan kembali dari pikirannya yang melayang ke mana-mana. Gadis itu kembali fokus kepada jalannya.


Lintang mendongkakan kepalanya saat ia mendengar namanya dipanggil. Wajahnya menjadi berseri-seri, sudah lama ia menunggu Aly untuk menjemputnya di kelas.

“Aly lama ih,” gerutu Lintang saat sudah berdiri di depan Aly.

“Hehe, sorry Lin, sibuk di kelas gue,” balas Aly sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Keduanya berjalan pergi, hendak menjemput kedua teman mereka yang lain. Setelah itu barulah mereka bersama berjalan menuju kantin sekolah.

Sesampainya di kantin mereka ber-empat bersama mengantre untuk memesan makanan. Beberapa kali Lintang berbalik hanya untuk menanggapi Monna yang bertanya-tanya kepadanya.

“Itu tadi beneran kaca pecah?” tanya Monna. Lintang mengangguk, “kalau gak percaya sana ke kelas gue gih, masih ada bekasnya.”

Monna sontak langsung memberi tahu Aly dan Nana untuk mampir ke kelas Lintang setelah makan. Memang Monna adalah orang yang memiliki rasa ingin tahu yang besar, ia tidak puas kalau tidak melihat sendiri kejadian yang diceritakan.

Lintang menggeleng-gelengkan kepalanya saja, ia kembali menatap ke depan. Tak sengaja antrean mereka terdorong ke belakang karena ada beberapa orang yang menyerobot antrean. Lintang tentu saja kesal, apalagi karena cowok di depannya punya badan tinggi yang membuat Lintang hampir jatuh ke belakang dibuatnya.

Di tengah kekesalannya, Lintang tiba-tiba dikejutkan oleh suara cowok di depannya yang berteriak kesal ke arah beberapa orang yang tadi menyerobot antrean.

“Lo pada kalau gak tau etika, gak usah jajan sekalian. Sana kelaperan aja. Lo pikir di sini cuman lo yang butuh makan? Orang-orang yang dari tadi ngantri juga butuh kali.”

“Iya tuh, huu, gak tau etika banget.”

Seruan-seruan muncul dari beberapa orang di belakang Lintang, bahkan Monna juga ikut berseru kesal.

Karena malu diteriaki satu kantin, beberapa ornag yang tadinya menyerobot antrean pun perlahan pergi. Si cowok yang tadi meneriaki mereka berbalik ke arah Lintang, kemudian meminta maaf sekilas karena tadi Lintang terdorong olehnya. Yang Lintang kagetkan adalah, ternyata pemuda itu adalah pemuda yang tadi memecahkan kaca kelasnya. Lintang tersenyum kecil, ternyata cowok itu tidak begitu buruk.


kaget

Lintang mendongkakan kepalanya saat ia mendengar namanya dipanggil. Wajahnya menjadi berseri-seri, sudah lama ia menunggu Aly untuk menjemputnya di kelas.

“Aly lama ih,” gerutu Lintang saat sudah berdiri di depan Aly.

“Hehe, sorry Lin, sibuk di kelas gue,” balas Aly sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Keduanya berjalan pergi, hendak menjemput kedua teman mereka yang lain. Setelah itu barulah mereka bersama berjalan menuju kantin sekolah.

Sesampainya di kantin mereka ber-empat bersama mengantre untuk memesan makanan. Beberapa kali Lintang berbalik hanya untuk menanggapi Monna yang bertanya-tanya kepadanya.

“Itu tadi beneran kaca pecah?” tanya Monna. Lintang mengangguk, “kalau gak percaya sana ke kelas gue gih, masih ada bekasnya.”

Monna sontak langsung memberi tahu Aly dan Nana untuk mampir ke kelas Lintang setelah makan. Memang Monna adalah orang yang memiliki rasa ingin tahu yang besar, ia tidak puas kalau tidak melihat sendiri kejadian yang diceritakan.

Lintang menggeleng-gelengkan kepalanya saja, ia kembali menatap ke depan. Tak sengaja antrean mereka terdorong ke belakang karena ada beberapa orang yang menyerobot antrean. Lintang tentu saja kesal, apalagi karena cowok di depannya punya badan tinggi yang membuat Lintang hampir jatuh ke belakang dibuatnya.

Di tengah kekesalannya, Lintang tiba-tiba dikejutkan oleh suara cowok di depannya yang berteriak kesal ke arah beberapa orang yang tadi menyerobot antrean.

“Lo pada kalau gak tau etika, gak usah jajan sekalian. Sana kelaperan aja. Lo pikir di sini cuman lo yang butuh makan? Orang-orang yang dari tadi ngantri juga butuh kali.”

“Iya tuh, huu, gak tau etika banget.”

Seruan-seruan muncul dari beberapa orang di belakang Lintang, bahkan Monna juga ikut berseru kesal.

Karena malu diteriaki satu kantin, beberapa ornag yang tadinya menyerobot antrean pun perlahan pergi. Si cowok yang tadi meneriaki mereka berbalik ke arah Lintang, kemudian meminta maaf sekilas karena tadi Lintang terdorong olehnya. Yang Lintang kagetkan adalah, ternyata pemuda itu adalah pemuda yang tadi memecahkan kaca kelasnya. Lintang tersenyum kecil, ternyata cowok itu tidak begitu buruk.