khawatir

Setelah dihubungi berkali-kali, Samuel tetap tidak menjawab telepon. Waniar yang khawatir hanya bisa menghela nafas kasar. Ia juga tidak tahu keberadaan adiknya. Juga, tidak ada yang dapat ia tanyai perihal keberadaan Samuel. Waniar akhirnya memutuskan untuk menunggu saja, siapa tahu adiknya akan muncul beberapa saat berikutnya.

Waniar menyandarkan kepala kepada sandaran sofa di belakangnya. Ia memejamkan mata, dan menghela nafas berat. Sepertinya ia terlalu khawatir. Benar saja, tak sampai beberapa lama Samuel akhirnya muncul di hadapan Waniar yang terlihat tidak bersemangat. Sepertinya Samuel sedang keluar rumah ketika Waniar tiba.

“Lho, Kak? Udah berapa lama di sini?”

Bukannya menjawab, Waniar justru langsung memarahi adiknya itu. “Lo bisa nggak, sih, sehari aja jangan buat orang khawatir? Handphone lo udah nggak ada gunanya kalau nggak lo aktifin, Sam! Gimana kalau ada apa-apa? Gue nggak bisa tolongin lo kalau gue nggak tau keadaan lo!”

Samuel diam, lalu dengan lirih mengucapkan permintaan maaf kepada sang kakak. “Sori, handphone gue tadi mati, gue nggak sadar pas keluar. Sori, karena nggak ngasih tau lo kalau gue mau keluar bentar. Gue juga nggak maksud untuk bikin lo sama Kak Satria khawatir, kok.”

Waniar yang tadinya menatap Samuel dengan tatapan tajam langsung membuang pandangannya ke sembarang arah. Sepertinya ia terlalu berlebihan memarahi Samuel atas hal yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan.

“Sori, Sam. Gue kelepasan. Nggak seharusnya gue marahin lo.”

Samuel tersenyum saja. Ia tentu mengerti kenapa kakaknya bisa seperti itu. Karena ia tahu, ia bisa kehilangan Samuel kapan saja.

Waniar berdeham kecil setelah atmosfir dalam apartment Samuel mulai aneh. “Mau makan di luar nggak?”

Samuel yang semula tertunduk langsung menoleh dan mengangguk.

Keduanya memutuskan untuk mencari makan di sekitar apartment saja, sambil berjalan kaki menikmati suasana kota yang ramai. Tadinya Waniar menolak ide tersebut, karena ia merasa sangat lelah, tetapi Samuel membujuknya hingga ia tidak dapat menolak lagi.

Tidak ada suara yang keluar dari keduanya. Tidak ada yang tahu isi pikiran masing-masing. Tetapi mereka mengerti apa yang dirasakan mereka masing-masing.