yoondiction

Samuel hanya menghela nafasnya saja ketika melihat sekitarnya yang dipenuhi beberapa mahasiswa kampusnya dari berbagai program studi. Tadinya, ia tak ingin ikut bergabung, namun entah dari mana Bagas tiba-tiba muncul di hadapannya dan menyeret pemuda itu untuk ikut dalam perkumpulan.

Samuel menatap pemuda di hadapannya dengan takut-takut. Dia adalah abang-abangan kampus yang begitu dihormati oleh teman-temannya. Dia adalah Arjuna, mahasiswa semester 12 yang tidak kunjung menyelesaikan skripsinya. Samuel masih bingung, apa istimewanya pemuda itu sehingga mahasiswa kampus begitu menghormatinya.

“Bang Arjuna keren, ya,” bisik salah seorang pemuda kepada Samuel.

Samuel berbalik dan menemukan salah seorang teman satu kelasnya di sana.

“Lo diajak ke sini juga?” lirih Samuel.

Iksan, pemuda dengan kacamata itu mengangguk. Ia sama seperti Samuel, sering dimanfaatkan. Tetapi, Iksan lebih bisa menerimanya dari pada Samuel, entah karena sifatnya yang polos atau ia tidak ingin menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri.

“Katanya, ya, kakaknya Bang Arjuna dulu Bintang Aktivis Kampus. Terus, dulu sebelum lulus udah jadi perebutan perusahaan-perusahaan besar, keren, kan?” jelas Iksan dengan suara lirih, tidak ingin menimbulkan kebisingan.

“Terus, istimewanya dia apa?” tanya Samuel lebih lirih dari suara Iksan tadi.

“Menurut temen-temen yang lain, nih, kalau lo deket sama Bang Arjuna, lo bakal lebih gampang buat magang di perusahaan-perusahaan besar. Udah banyak banget orang yang dibantu sama kakaknya Bang Arjuna, jadi orang-orang pada segan sama dia juga.”

“Jadi, intinya Bang Arjuna ini dihormatin karena kakaknya udah ngebantu banyak orang?” Iksan mengangguk.

Samuel terdiam setelahnya, ia seperti melihat dirinya sendiri. Tanpa kakaknya, ia juga bukan apa-apa. Bedanya, Arjuna memanfaatkan hal itu demi reputasi, sedangkan Samuel sama sekali tidak berani memanfaatkan nama besar keluarganya.

Samuel diam dan mendengarkan, walaupun kata-kata yang dikeluarkan oleh Arjuna sama sekali tidak berguna untuknya, dan malah membuat pemuda itu muak.

“Nah, sekarang gue mau tahu, dong, siapa aja yang baru gabung sama kita?” Arjuna bertanya, membuat beberapa orang mengangkat tangan, termasuk Samuel yang sebelumnya melamun.

“Lumayan juga, ya. Sini, dong, deket-deket kalau gitu, gue mau kenal sama kalian juga,” ucap Arjuna mengajak beberapa orang untuk duduk di dekatnya. Samuel mau tidak mau bertukar tempat dengan salah satu kakak tingkatnya yang duduk tepat di sebelah Arjuna.

Samuel menunduk, merasa tidak nyaman bersebelahan dengan Arjuna. Tanpa kata, pemuda yang lebih tua darinya tiba-tiba saja merangkulnya, membuat Samuel semakin tidak nyaman.

Arjuna mengeluarkan sekotak rokok dari saku jaketnya dan mengambil satu batang di antara beberapa batang yang tersisa di dalam kotak. Setelah itu, ia menyodorkannya kepada pemuda yang lebih kecil di sampingnya.

“Sebat nggak lo?” tanya Arjuna. Samuel menggeleng, lalu tersenyum kaku kepada Arjuna.

“Hah? Masa enggak, sih? Cupu banget. Nggak usah mikirin soal kesehatan, deh, kita masih muda, masih sehat. Lagian cowok apaan coba yang nggak ngerokok? Banci, kali,” Arjuna terkekeh, ia menatap Samuel dengan pandangan meremehkan, membuat Samuel sekali lagi merasa tidak nyaman.

“Nama lo siapa, nih? Gue pengen tahu nama ‘si paling’ nggak ngerokok,” lanjut Arjuna yang sudah mengoper kotak rokoknya ke arah yang berseberangan dari Samuel.

“Gue Samuel, Bang…” jawab Samuel dengan perasaan sedikit takut.

“Oh, Samuel, ya? Siapa yang ngajak lu ke sini, Muel?” Arjuna semakin mempererat rangkulannya, membuat Samuel mau tidak mau mendekatkan kursinya kepada Arjuna.

“Gue, Bang.” Bagas yang duduk di belakang Arjuna mengangkat tangannya.

“Oh, elu, toh. Lain kali jangan ngajak orang cupu ke tongkrongan, yang ada cuman ngotorin aja,” ucap Arjuna sambil tersenyum sinis, dinyalakan rokok ditangannya menggunakan korek api salah satu mahasiswa di situ. Samuel menunduk, merasa dipermalukan.

“Sori, Bang. Tapi, gue bawa dia ke sini ada alasan juga, kok,” kata Bagas membela dirinya.

“Apa alasannya? Gue mau tahu.”

“Samuel ini orangnya royal, Bang, sering bayarin tongkrongan gue. Jadi, dia yang nanti bayarin tongkrongan kita hari ini, Bang.” Ucapan Bagas membuat Samuel menatapnya tidak percaya. Jelas-jelas ia selalu dipaksa untuk menalangi tagihan teman-temannya.

“Wah, gegayaan banget, beneran nggak, nih?”

Bagas menatap Samuel dengan tatapan memohon dan sedikit ketakutan. Samuel berpikir sebentar, jika ia menerimanya akan menghabiskan uangnya, sedangkan jika ia menolak reputasinya akan buruk mengingat betapa dihormatinya Arjuna.

Samuel mengangguk, membuat Arjuna tersenyum miring.

“Kalian udah denger, kan? Pesen aja yang kalian mau, nanti si Muel bayarin,” perintah Arjuna kepada para mahasiswa di situ.

“Bagus kalau lo tahu diri, Muel. By the way, thanks. Emang perlu effort kalau mau dihormatin kayak gue, jadi gue hargain usaha lo,” ucap Arjuna pelan di sebelah telinga Samuel, setelah itu ia melepaskan rangkulannya terhadap Samuel dan beranjak pergi. Ia juga ikut memesan, menikmati kesempatan yang diberikan oleh Samuel.

“Dapat payung dari mana?” tanya Kala saat Leo sudah berdiri di sebelahnya sambil menutup payung.

“Pinjem punya Ale, tadi,” jawab Leo tanpa memalingkan wajahnya dari payung yang sedang ia tutup.

“Kebiasaan banget, nggak pernah bawa payung kalau ke luar,” cibir Kala.

“Ya, ngapain juga kalau nggak hujan?”

“Jaga-jaga, lah, Le. Taruh di mobil.”

“Iya, bawel.”

Keduanya kini berjalan masuk ke dalam gedung fakultas lagi, entah akan ke mana arahnya.

“Mau ke mana?” tanya Kala ketika Leo menaiki tangga menuju lantai 2.

“Ketemu temen gue bentar, mau ngambil jas,” ucap Leo tanpa berbalik kepada Kala yang berjalan di belakangnya.

“Abis ngapain, sih, Lo? Perasaan tadi pagi lo masih pakai baju biasa?” tanya Kala yang heran melihat pakaian serba hitam yang Leo kenakan.

“Tadi diminta tolong sama anak fotografi. Dia ada tugas fashion fotografi, jadi minta bantuan gue sama beberapa orang lain, termasuk temen gue yang minjem jas ini,” jelas Leo.

Kala mengangguk saja, mengerti akan kebiasaan Leo yang sering membantu teman-temannya di jurusan fotografi hingga fashion design.

Setelah mengambil jas miliknya, Leo langsung mengajak Kala kembali kepada rencana awal mereka. Keduanya berjalan menuju parkiran mobil dengan posisi Leo memegangi payung untuk ia pakai bersama sang gadis.

“Lo lagi banyak kerjaan apa gimana, Le? Sibuk banget gue lihat-lihat,” komentar Kala yang melihat Leo sudah sibuk dengan ponselnya.

“Emang lagi banyak, Kal. Makanya gue pengen nyari inspirasi,” jawab Leo yang kembali mengembalikan ponselnya ke dalam saku celana. Kini ia fokus sepenuhnya kepada Kala.

“Mau temenin gue sampai malam, nggak? Nanti gue antar pulang,” tawar Leo.

“Boleh, sih. Lagian gue nggak ada kesibukan apa-apa juga, jadi bebas aja,” jawab Kala menerima tawaran Leo. Tak ada salahnya juga jika ia ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan sang mantan.

“Tapi kita nggak di satu tempat aja, Kal. Terus, nanti lanjut ke studio gue, nggak apa-apa, kan?”

“Nggak apa-apa, lah, gue mau di mana aja boleh, kok.”

“Oke, kalau gitu. Makasih, Kal,” ucap Leo sambil membuka pintu mobil untuk Kala masuki.

Kala mengangguk saja, kemudian mengucapkan terima kasih kepada Leo. Setelah menutup pintu penumpang, Leo mengitari mobil dan masuk ke dalam mobil melalui pintu kemudi.

“Jangan lupa pakai seatbelt, Kal,” tegur Leo sesaat setelah masuk ke dalam mobil.

Kala yang tersadar langsung menarik seatbelt di samping kursi untuk ia pakai. Dengan begitu keduanya siap untuk memulai perjalanan sore itu.

Samuel dan Waniar tetap pada tempat tinggal masing-masing, keputusan itu yang datang setelah ketiga bersaudara itu selesai berdiskusi. Samuel dan Waniar juga sepakat, jika Samuel sedang tidak baik-baik saja, ia akan menghubungi Waniar secepatnya.

Diskusi itu mereka tutup dengan makan malam, lalu disambung dengan menonton film bersama, walaupun Waniar tetap sibuk dengan laptopnya.

Waktu sudah berjalan menuju jam setengah sebelas malam. Samuel sudah tidur dengan nyaman di samping Satria yang duduk di sebelahnya, sedangkan Waniar yang duduk terpisah masih berkutat dengan pekerjaannya, menyisakan Satria yang sudah menonton film kedua. Tidak banyak yang ia lakukan selama mengunjungi kedua adiknya itu, sehingga rasanya seperti liburan biasa.

Waniar mengusap wajahnya pelan, sepertinya ia sudah mulai mengantuk. “Tidur aja, Wan, kalau nggak kuat,” ucap Satria tanpa membalikkan badannya kepada Waniar, seakan ia tahu kalau adiknya sudah mulai lelah.

“Tanggung, Kak,” balas Waniar tanpa memindahkan fokusnya.

“Lo lagi ngerjain apa, sih, Wan? Kayak sibuk banget dari tadi,” tanya Satria yang sudah mulai penasaran.

“Ngerjain laporan, Kak. Besok siang deadline-nya,” jawab Waniar dengan jari-jari yang masih bergerak di atas keyboard laptop.

“Kenapa mepet banget lo kerjainnya?”

“Baru diminta tadi pas makan malam, gimana nggak pusing, coba?” keluh Waniar dengan nada kesal. Walaupun sudah terbiasa mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa orang di kantor, Waniar tetap saja bisa kesal.

“Kalau gitu istirahat dulu, jangan sampai stres,” ucap Satria mengingatkan.

Waniar mendengus saja, tak menuruti ucapan sang sulung. Tak berapa lama kemudian, ia kembali membuka suara.

“Lo nggak capek, Kak?” tanya Waniar tiba-tiba.

“Capek kenapa?” Satria balik bertanya, ia sepertinya bisa menebak arah percakapan ini.

“Capek selalu ngurus adek-adek lo, walaupun udah nggak satu rumah.”

“Kenapa tiba-tiba nanya gitu? Lo juga capek, ya?”

“Nggak, gue cuman penasaran. Lo, kan, manusia, pasti capek juga dengan tanggung jawab lo selama ini.”

Satria terdiam lama, kemudian malah balik bertanya, “Kalau lo sendiri gimana, Wan? Pasti capek juga, kan?”

Waniar hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban.

“Gue lagi mau denger cerita lo, Kak. Jadi jangan balikin pertanyaannya ke gue.” Satria akhirnya mengalah.

“Gue mau ngeluh capek juga percuma, Wan. Gue salah satu yang jaga keseimbangan rumah, jadi mau nggak mau harus kuat,” ucap Satria mulai mengeluarkan isi kepalanya.

“Gue tumbuh di bawah tekanan Ayah, harus jaga adek-adek gue, harus sempurnain akademik gue, harus buktiin diri kalau gue bisa ngewarisin perusahaan Ayah. Lo bisa bayangin, lah, gimana diaturnya hidup gue dari kecil sampai besar. Gue lakuin ini juga supaya nggak berimbas ke kalian, biar kalian bisa ngeraih apa yang kalian mau.”

Waniar menatap sang Kakak yang berbicara tanpa melihat dirinya. Ternyata selama ini si sulung telah berkorban demi adik-adiknya. Ia rela mendapat tekanan dari Ayah, asal hal itu tidak berimbas kepada adik-adiknya.

“Lo selama ini ditekan Ayah, tapi nggak pernah ngeluh sedikit pun?” ujar Waniar heran.

“Kan, udah gue bilang, Wan. Ngeluh pun percuma,” balas Satria sambil tersenyum getir, ia masih tidak menatap adiknya. Waniar menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, perasaannya campur aduk.

“Yang mengkhawatirkan di sini itu elo, Kak, tapi kenapa lo masih bisa khawatir sama orang lain, sih?”

“Gue takut, Wan. Gue takut kehilangan salah satu dari kalian, adik-adik gue. Gue nggak apa-apa hancur sendiri, asal kalian semua nggak perlu ngerasain apa yang gue rasain.” Kini Satria melirik Samuel yang tengah tertidur di sebelahnya. Wajah tenang pemuda itu membuat Satria meringis, menyadari kenyataan bahwa adiknya sudah menyakiti dirinya sendiri beberapa hari yang lalu.

“Nggak adil rasanya, Kak. Lo tau semua tentang adek-adek lo, tapi gue dan yang lain nggak tau tentang lo. Tolong, setidaknya anggap saudara-saudara lo sebagai tempat lo berlindung juga, Kak,” pinta Waniar, ia sudah tidak peduli dengan laporan setengah rampung yang ia tinggalkan.

Satria mengangguk kecil. Hal itu sudah ia lakukan dari dulu, ia selalu menjadikan saudara-saudaranya sebagai tempat pulangnya, tempat ia bisa melupakan sejenak hidupnya yang semakin lama semakin tidak berarah.

“Kalau gue minta lo untuk nggak sering-sering khawatir, boleh nggak?” lanjut Waniar.

Satria melengos, lalu menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa. “Entah kenapa perasaan khawatir gue selalu nggak bisa hilang. Mungkin itu dilandasi karena gue nggak mau kehilangan salah satu dari kalian, jadi sebisa mungkin gue mau memastikan kalian baik-baik aja supaya gue bisa tenang.”

Keadaan hening sesaat, sepertinya Waniar sedang mencerna perkataan sang Kakak.

“Seumur hidup gue udah mati-matian bertahan demi kalian, dan sekarang giliran gue mati-matian buat salah satu dari kalian bertahan demi gue. Berat rasanya keadaan berbalik kayak gini,” lanjut Satria setelah jeda sejenak sambil mengelus rambut Samuel yang tertidur di sebelahnya.

Waniar menundukkan kepalanya sambil mengelus rambutnya yang sedikit panjang. Perasaannya sungguh campur aduk, baru kali ini ia melihat sisi lain dari si sulung. Pemuda tinggi itu beranjak dari tempatnya, hendak mengambil minuman dingin di kulkas.

“Jangan minum yang dingin-dingin, udah malam,” tegur Satria seakan tahu pergerakan Waniar, padahal dirinya sedang duduk membelakangi tempat Waniar berdiri sekarang.

“Kadang lo nyeremin, tau, Kak,” ujar Waniar yang beralih dari kulkas ke kepada air mineral di atas meja.

Satria terkekeh saja, seperti biasa ia selalu tahu pergerakan adik-adiknya.

Setelah minum, Waniar ingin mengatakan sesuatu kepada Satria, tapi entah kenapa hal itu terasa akan sangat kaku bila ia ucapkan. Pada akhirnya Waniar hanya menggeleng pelan, kemudian kembali ke tempatnya duduk. Namun, setelah memikirkannya kembali, Waniar memutuskan akan mengatakan hal lain kemungkinan tidak akan menimbulkan reaksi aneh dari sang Kakak.

“Kak,” panggil Waniar.

Satria berbalik menatap adiknya yang akan kembali pada pekerjaannya.

“Gue seneng lo masih ada sampai sekarang.”

Leo menghela nafas berkali-kali, tidak habis pikir dengan tindakan gadis yang sedang makan di depannya saat ini. Saat membuka pintu kamar Kala tadi, ia menemukan gadis itu dengan wajah pucat dan tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Benar seperti dugaanya, Kala sedang sakit.

“Kenapa nggak bilang kalau lagi sakit?” Suara Leo yang dingin menembus indra pendengaran Kala. Membuat gadis itu tidak jadi menyendokkan makanan ke dalam mulutnya.

“Biar lo nggak ke rumah, puas lo?” balas Kala tak kalah dingin.

“Gitu, ya, ngomongnya. Padahal tadinya mau minta bantuan gue,” ucap Leo sambil menatap Kala dengan tatapan tengilnya.

Kala yang tadinya menatap Leo datar, kini membuang pandangannya ke sembarang arah. Ia tidak bisa mengelak kalau tadinya gadis itu ingin meminta bantuan Leo.

“Udah baikan belum, sekarang?”

Kala mengangguk sebagai jawaban.

Leo menatap gadis itu lamat-lamat, kemudian tanpa aba-aba ia mendekat dan meraba kening Kala menggunakan punggung tangannya.

“Badan lo panas, ada parasetamol, nggak?”

“Ada, kayaknya,” jawab Kala sambil meraba keningnya sendiri, memastikan perkataan Leo.

“Beneran ada, nggak?”

“Ada, bawel. Coba cek di laci kamar gue.”

Leo berdiri dari tempatnya duduk dan berjalan menuju kamar Kala untuk mencari parasetamol.

Kala kembali melanjutkan kegiatan makannya, membiarkan Leo mencarikan parasetamol untuk dirinya. Sembari makan, Kala memegang kepalanya yang kembali pusing, sepertinya ia harus lebih banyak istirahat.

“Kenapa lo? Pusing?” tanya Leo yang baru saja kembali.

Kala mengangguk, ia sudah tidak tahan.

“Mau ke rumah sakit, nggak? Gue anter,” tawar Leo sambil mendekat kepada Kala. Dengan lembut ia menyentuh tangan Kala yang sedang memegang kepalanya, memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.

“Bukannya lo ada rapat? Gue pergi sendiri aja, deh, nggak apa-apa,” jawab Kala yang mengingat perkataan pemuda itu di chat tadi.

“Gampang, elah. Yang penting elo dulu, nggak tenang gue kalau gini, Kala,” ucap Leo yang menatap Kala dengan pandangan khawatir.

“Terus rapat lo gimana, anjing? Elo, kan, ketua.”

“Ntar gue suruh wakil gue. Ayo sekarang ke rumah sakit, nggak ada penolakkan,” ucap Leo final. Kala ingin membantah, tetapi dengan gerakan cepat Leo langsung menggendongnya tanpa aba-aba, membuat Kala tidak bisa menolak.

“Gue bisa jalan sendiri, Leo,” ucap Kala, ingin turun dari gendongan Leo.

“Ntar lo kabur, lagi. Udah, diem.” Kala menurut, nanti juga ia akan diturunkan saat sudah sampai mobil.

Suara bell menginterupsi Waniar yang sedang membuat kopi. Satria dan Samuel sedang pergi keluar, membuat Waniar hanya seorang diri di dalam unit apartemen. Pria itu membuka pintu, dan menemukan Belinda yang masih memakai piyama sambil membawa sebuah kotak di tangan kirinya. Wanita itu tersenyum, lalu menyodorkan kotak di tangannya kepada Waniar.

Cookies pesanan Kak Waniar sudah datang, selamat menikmati,” ujar Belinda dengan nada riang. Waniar tersenyum tanpa sadar, membuat mood-nya pagi itu menjadi lebih baik.

“Masuk dulu, Lin, gue buatin kopi.”

“Eh, nggak usah repot-repot, nggak enak gue sama Kakak lo,” tolak Belinda.

“Nggak apa-apa, Kakak gue juga lagi nggak di rumah, kok. Sekalian sarapan bareng,” bujuk Waniar. Entah ada dorongan dari mana ia bisa bersikeras begini, padahal biasanya ia menghindari untuk berinteraksi dengan orang lain. Belinda seperti mempunyai magnet yang bisa membuat semua orang nyaman bila bersamanya.

“Ya udah, kalau gitu gue mau,” ucap Belinda sambil tertawa kecil.

Waniar menuntun Belinda untuk duduk di meja makan, setelah itu ia menuju ke dapur untuk mengambil piring dan gelas untuk keduanya pakai. Setelah menyeduh kopi dan meletakkan beberapa cookies di piring, Waniar kembali ke area meja makan.

“Thank you, Wan,” ujar Belinda ketika menerima satu gelas kopi dari Waniar.

Keduanya menikmati sarapan pagi itu sambil mengobrol. Baru kali itu Waniar memiliki kesempatan untuk mengobrol panjang dengan Belinda. Padahal, biasanya mereka hanya membicarakan seputar pekerjaan saja dan tak pernah membahas hal lainnya.

By the way, gimana keadaan adik lo? Udah baikan?” tanya Belinda ketika ia melihat sebuah pigura yang terpajang di dinding area meja makan.

“Kayaknya udah lumayan, sih. Udah balik kayak biasa lagi pas Kakak gue dateng.”

Belinda mengangguk mengerti. “Baguslah kalau gitu. Gue juga ikut khawatir waktu itu, soalnya dia sempet nangis sesegukan pas balik ke ruang tengah.”

Waniar menoleh dan menatap Belinda dengan tatapan tidak percaya. “Dia sempet nangis lagi?”

“Iya, tapi waktu itu gue sempet tenangin jadi agak reda juga.”

Waniar menatap wanita di hadapannya lama. Padahal ia dan Samuel baru saja bertemu selama beberapa menit, tetapi Samuel bisa merasa tenang dan nyaman bersama Belinda. Wanita itu aneh, tetapi dapat membuat Waniar penasaran.

“Kak, temen gue kayaknya tertekan gara-gara lo, deh,” sahut Waniar ketika sedang berkumpul bersama Satria dan Samuel di ruang tengah unit apartemen milik Samuel.

Satria mengangkat alis bingung. “Kenapa emangnya?”

“Katanya aura lo ngeri, buat orang tertekan,” jawab Waniar sambil sedikit tertawa.

“Ada-ada aja, Wan. Emangnya gue se-mengerikan itu, kah?” ucap Satria sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Lah, emangnya lo nggak sadar, Kak?” Samuel ikut mengangkat suara.

“Emangnya iya? Kok, gue nggak ngerasa gitu?”

“Lo nggak pernah ngerasain berhadapan sama diri lo sendiri, sih. Kan, kalau kita udah sering berhadapan sama lo, Kak.”

Waniar mengangguk-angguk saja, karena semua yang ingin dia sampaikan sudah diwakilkan oleh Samuel.

Satria menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sepertinya benar apa yang dikatakan adik-adiknya.

“Oh iya, Kak. Lo sampai kapan di sini?” tanya Samuel setelah hening karena ketiganya sedang menikmati tontonan di TV.

“Sampai lo ngerasa lebih baik dan nggak aneh-aneh lagi,” jawab Satria tanpa menoleh kepada adiknya.

“Apa, sih, Kak. Gue nggak apa-apa, kok,” ujar Samuel sambil tertawa canggung.

“Terus yang gue lihat kemarin itu apaan, Sam?” Waniar menimpali. Jujur ia masih sangat khawatir dengan adiknya itu.

Samuel menatap Waniar takut-takut. Semalaman penuh Waniar terus menjaganya dan tidak pernah meninggalkan dia sendirian di dalam kamar. Waniar menunggu Samuel hingga pemuda itu bisa tertidur di pukul 3 pagi.

Satria mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Samuel dengan erat. Menyalurkan sebuah kekuatan yang bisa dirasakan dalam persaudaraan mereka.

“Gue nggak akan paksa lo untuk cerita, tapi gue cuman pengen lo tau kalau gue akan selalu ada dipihak lo sampai kapanpun. Mau seberat apapun langkah lo, dan sesakit apapun diri lo, gue selalu siap buat nyamperin lo,” Satria mendekat kepada Samuel demi bisa memeluk tubuh adiknya itu. Sebuah pelukan yang jarang mereka lakukan selama hidup bersama.

Waniar ikut mendekat dan memeluk keduanya walaupun merasa canggung.

“Kalau lo belum ngerasa baikan, mau coba ke psikolog, nggak?” tawar Satria.

Samuel menggeleng, ia merasa keadaannya tidak separah itu untuk dibawa menemui bantuan profesional.

“Ya udah, tapi nanti kalau lo emang butuh, kabarin gue aja, ya,” ucap Satria sambil mengelus kepala yang lebih muda.

“Sam, gimana menurut lo tentang partner gue tadi siang?” tanya Waniar saat keduanya sedang berbaring di atas sofa sambil menonton siaran televisi.

Samuel mengangkat alisnya sambil berpikir sejenak. “Menurut gue dia orangnya baik, sih. Dia tahu apa yang gue butuhin tadi. Dan yang gue lihat tadi, dia bisa nempatin dirinya sendiri di berbagai situasi berbeda.”

“Menurut lo, gue bakal cocok temenan sama dia, nggak?”

“Menurut lo gimana, Kak? Lo cocok nggak kerja sama dia, atau ada di sekitar dia?” Samuel menatap yang lebih tua dengan tatapan serius. Tidak biasanya sang kakak meminta pendapat darinya, sehingga ia ingin membantu sebisa mungkin.

“Selama ini, sih, gue nggak merasa terganggu sama kehadiran Belinda. Tapi, gue cuman nggak mau terlalu ngerepotin dia aja. Soalnya, dari yang gue denger dari karyawan lain, dia dipaksa buat pindah cabang, terus akhirnya disuruh jadi partner kerja gue.”

“Anjir, kasihan banget,” Samuel meringis sambil membayangkan betapa berat berada di posisi wanita itu.

“Menurut lo gue harus ngapain, Sam? Coba untuk akrab, atau kayak biasa aja?”

“Kalau lo mau, coba akrabin diri, deh. Kan, nggak tau kalian bakal kerja bareng sampai kapan.”

Waniar menundukan kepalanya, ia sedang mempertimbangkan masukan dari Samuel.


Saat Waniar tiba di kantor, matanya langsung tertuju kepada Belinda yang sudah sibuk dengan pekerjaannya. Waniar berjalan mendekat, ia ingin mencoba untuk mengakrabkan diri kepada Belinda. Pria itu berdeham pelan, mencuri atensi dari sang wanita.

Belinda yang tadinya fokus, langsung mendongakkan kepalanya demi melihat Waniar yang mencuri atensinya dari laptop di hadapan wanita itu. Melihat Waniar yang berdiri dengan tas di pundaknya membuat Belinda tersenyum kecil, tak lupa dengan sapaannya yang aneh.

“Udah bangun pagi ini?”

Waniar mengangguk saja, walaupun belum terbiasa dengan sapaan aneh dari partner-nya.

“Lo mau ikut gue ngadep produser, nggak?” tanya Waniar tanpa basa-basi.

“Mau serahin yang kemarin, ya? Ikut, deh.”

“Tapi nanti, setelah makan siang,” seru Waniar cepat saat Belinda sudah bersiap untuk berdiri dari tempatnya.

“Oh, bilang dong.” Belinda kembali menyandarkan tubuhnya.

Tanpa kata, Waniar langsung berbalik dan meninggalkan Belinda yang kembali sibuk. Namun, pria itu kembali lagi ketika teringat bahwa ia ingin menanyakan sesuatu.

“Kemarin lo kenapa?”

“Oh, engga. Kemarin gue cuman lagi overthink dikit. Maaf kalau tingkah gue yang kemarin aneh banget, gue nggak maksud, kok,” jawab Belinda dengan kikuk. Ia juga tidak mengerti kenapa pikirannya membawa ia melakukan hal yang memalukan seperti itu.

Sejujurnya, ia juga tidak siap dengan respons Waniar kepadanya hari ini.

“Santai aja, Lin. Lo kalau mau temenan nggak apa-apa, sih. Lagian, kita itu partner, jadi harus bisa deket, kan?”

Belinda menatap Waniar dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Saat itu, ia bisa melihat sisi lain dari Waniar yang tidak ia tunjukan kepada orang-orang di sekitarnya.

Setelah dihubungi berkali-kali, Samuel tetap tidak menjawab telepon. Waniar yang khawatir hanya bisa menghela nafas kasar. Ia juga tidak tahu keberadaan adiknya. Juga, tidak ada yang dapat ia tanyai perihal keberadaan Samuel. Waniar akhirnya memutuskan untuk menunggu saja, siapa tahu adiknya akan muncul beberapa saat berikutnya.

Waniar menyandarkan kepala kepada sandaran sofa di belakangnya. Ia memejamkan mata, dan menghela nafas berat. Sepertinya ia terlalu khawatir. Benar saja, tak sampai beberapa lama Samuel akhirnya muncul di hadapan Waniar yang terlihat tidak bersemangat. Sepertinya Samuel sedang keluar rumah ketika Waniar tiba.

“Lho, Kak? Udah berapa lama di sini?”

Bukannya menjawab, Waniar justru langsung memarahi adiknya itu. “Lo bisa nggak, sih, sehari aja jangan buat orang khawatir? Handphone lo udah nggak ada gunanya kalau nggak lo aktifin, Sam! Gimana kalau ada apa-apa? Gue nggak bisa tolongin lo kalau gue nggak tau keadaan lo!”

Samuel diam, lalu dengan lirih mengucapkan permintaan maaf kepada sang kakak. “Sori, handphone gue tadi mati, gue nggak sadar pas keluar. Sori, karena nggak ngasih tau lo kalau gue mau keluar bentar. Gue juga nggak maksud untuk bikin lo sama Kak Satria khawatir, kok.”

Waniar yang tadinya menatap Samuel dengan tatapan tajam langsung membuang pandangannya ke sembarang arah. Sepertinya ia terlalu berlebihan memarahi Samuel atas hal yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan.

“Sori, Sam. Gue kelepasan. Nggak seharusnya gue marahin lo.”

Samuel tersenyum saja. Ia tentu mengerti kenapa kakaknya bisa seperti itu. Karena ia tahu, ia bisa kehilangan Samuel kapan saja.

Waniar berdeham kecil setelah atmosfir dalam apartment Samuel mulai aneh. “Mau makan di luar nggak?”

Samuel yang semula tertunduk langsung menoleh dan mengangguk.

Keduanya memutuskan untuk mencari makan di sekitar apartment saja, sambil berjalan kaki menikmati suasana kota yang ramai. Tadinya Waniar menolak ide tersebut, karena ia merasa sangat lelah, tetapi Samuel membujuknya hingga ia tidak dapat menolak lagi.

Tidak ada suara yang keluar dari keduanya. Tidak ada yang tahu isi pikiran masing-masing. Tetapi mereka mengerti apa yang dirasakan mereka masing-masing.

tw // selfharm

Belinda mengerutkan keningnya saat melihat Waniar yang bekerja dalam diam. Tidak ada percakapan di antara keduanya, membuat suasana sangat canggung. Belinda ingin beranjak saat jam istirahat tiba, namun ketika melihat Waniar yang sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, membuat Belinda mengurungkan niatnya. Dia juga tidak begitu lapar, tugasnya di sini hanya mengamati, menemani, dan membantu Waniar bekerja.

Keduanya kembali sibuk, sampai suara bel ponsel milik Waniar mengganggu pekerjaan mereka. Belinda mengernyit bingung, menurut pengamatannya, Waniar adalah tipe orang yang selalu meninggalkan ponselnya dalam mode silent, ternyata ia memasang bel khusus untuk beberapa orang yang ia anggap penting.

Waniar melirik sekilas, walaupun sudah tahu siapa yang menelepon, tetapi tetap saja ia juga penasaran.

“Halo, Kak. Kenapa?” Itu kali kedua Belinda mendengar suara Waniar hari itu, ia masih belum terlalu terbiasa mendengar suara partner kerjanya.

“Belum, gue belum ketemu dia hari ini.”

“…”

Setelah mendengar perkataan kakak sulungnya dari telepon, pemuda itu langsung berdiri dari tempatnya. Ia terlihat sedikit panik.

“Gue ke sana sekarang, nanti gue kabarin lagi.” Setelah itu Waniar menutup telepon, dengan gerakan cepat, ia segera memakai jaket yang tadinya ia lepas.

Belinda mengernyit bingung ketika pemuda itu berdiri di hadapannya.

“Lo bawa mobil, kan? Ayo ikut gue sekarang.” Tak sempat Belinda membuka mulutnya, ia langsung ditarik Waniar keluar dari ruangan kerja mereka. Belinda hanya sempat meraih ponsel dan kunci mobilnya.

Waniar yang menyetir, sedangkan Belinda duduk di kursi penumpang. Gadis itu sempat mengira kalau Waniar membawanya hanya untuk menjadikannya sebagai sopir pribadi pemuda tinggi itu.

Belinda melirik sedikit ke arah Waniar, pemuda itu terlihat panik walaupun wajahnya tetap datar. Mobil yang mereka kendarai melaju dengan kecepatan rata-rata, Waniar selalu tau batasan jika mengemudi di jalan raya.

Tak sampai setengah jam kemudian, keduanya sudah tiba di daerah salah satu apartment di dekat mall besar. Tanpa sadar, Waniar menggandeng tangan Belinda saat mereka melintasi lobby. Tujuan mereka saat ini ada di lantai 7, Waniar mengeluarkan kartu akses yang Satria berikan padanya sesaat setelah salah satu adiknya pindah ke sana.

Mereka menaiki lift menggunakan kartu akses tersebut. Beberapa menit kemudian, mereka sudah tiba di depan kamar yang dituju.

Lantai itu mempunyai 6 unit, dan salah satunya ditempati oleh salah satu adik Waniar. Belinda sangat bingung sekarang, kenapa mereka hanya berdiri diam selama satu menit di depan pintu tanpa melakukan apa-apa?

Waniar mengeluarkan ponselnya, lalu menekan salah satu nomor yang telah ia bintangi. Tidak ada respons apa-apa, membuat Waniar menghela nafasnya kasar.

Dengan terpaksa ia harus masuk sendiri untuk bertemu dengan adiknya.

Bip.

Pintu terbuka, menampilkan keadaan apartment yang sangat berantakan. Penghuninya tidak terlihat di sekitar ruang tamu, begitu juga dengan open kitchen yang entah bagaimana menjadi satu-satunya ruangan yang terlihat bersih.

“Samuel!” Suara waniar menggelegar di ruangan itu, membuat Belinda terlonjak kaget.

Waniar bergerak menuju kamar mandi tamu di dekat jendela besar, tapi ia tidak mendapatkan apa-apa. Ia kemudian mengecek setiap kamar dan ruangan di dalam unit Samuel, sampai ia menemukan salah satu kamar mandi yang terkunci.

“Samuel. Gue tau lo di dalam. Tolong buka, gue mau ngomong,” ucap Waniar sambil mengetuk pintu kamar mandi dengan pelan.

“Sam, please. Kak Satria nyariin lo dari kemarin, jangan buat dia khawatir.”

Belinda menatap punggung lebar Waniar, entah kenapa hatinya terasa sakit mendengar suara lirih pemuda itu.

“Gue bakal nunggu sampai lo mau keluar. Gue cuman pengen lihat keadaan lo doang, Sam.” Waniar menunggu di depan pintu kamar mandi selama lebih dari 5 menit, ia menunggu sampai tubuh Samuel muncul dari balik pintu.

Keadaan Samuel tidak lebih baik dari keadaan apartment-nya, rambutnya sangat berantakan, matanya sembap, tangannya penuh dengan garis-garis merah yang ia ciptakan sendiri. Pemuda itu hanya memakai kaus putih dan celana pendek, tampilannya seperti baru bangun dari tidur.

Waniar melirik keadaan kamar mandi di belakang Samuel. Sangat berantakan. Waniar meringis kecil saat mendapati banyak benda tajam yang berhamburan di dalam sana.

“Ke ruang tamu, langsung telepon Kak Satria,” perintah Waniar sambil mendorong sedikit tubuh Samuel agar ia bisa memasuki kamar mandi itu.

“Belinda, tolong jagain dia di ruang tamu, gue beresin ini dulu,” sambung Waniar.

Belinda agak kaget ketika namanya disebutkan, padahal dari tadi ia tidak mengajak gadis itu bicara sama sekali. Gadis itu mengangguk saja, kemudian ia mengikuti langkah Samuel yang berjalan menuju ruang tamu.

Waniar berjongkok, dengan tenang ia memunguti satu per satu benda tajam dari lantai. Setelah itu barulah ia mulai membersihkan kamar mandi itu menjadi seperti sediakala. Saat keluar dari kamar mandi, pandangan Waniar langsung tertuju kepada Samuel yang sudah memegang segelas teh di tangannya.

“Kak, maaf…” lirih Samuel kepada Waniar yang sudah duduk di hadapannya.

“Iya, nggak apa-apa. Udah telepon Kak Satri, belom? Tadi dia panik banget nyariin lo,” tanya Waniar.

“Belum… Gue masih takut, Kak.”

Waniar menghela nafasnya, matanya menangkap pergerakan Belinda yang bergabung dengan 2 gelas teh di tangannya.

“Mau teh?” tanya Belinda agak ragu. Waniar mengangguk, diulurkan tangannya untuk menerima gelas teh itu dari tangan Belinda.

Hening sejenak. Mereka sibuk menikmati minuman masing-masing.

“Besok Kak Satria ke sini, jadi malam ini gue nginep di sini.” Suara waniar memecahkan keheningan, membuat Samuel langsung menatap kakaknya.

“Gue nggak kenapa-kenapa, Kak. Nggak perlu sampai segitunya.”

“Lo udah nelepon Kak Satria?” Samuel menggeleng.

“Telepon dulu, biar jelas,” ucap Waniar sambil menyandarkan tubuhnya pada sofa.

Samuel awalnya menolak, sampai Waniar harus mewakili adiknya untuk menelepon sang kakak sulung.

“Halo, Kak. Ini Samuel udah sama gue.”

“…”

“Mendingan lo ngomong langsung ke orangnya deh, daripada ke gue lagi.”

Waniar memberikan ponselnya kepada Samuel, dan diterima dengan ragu-ragu oleh adiknya itu.

“Kak Satria mau ngomong,” kata Waniar saat ia tidak kunjung menempelkan telinganya pada benda pipih yang ia genggam.

Samuel berdiri, ia berjalan menjauh dari Waniar dan Belinda.


Kini ketiganya sudah berada di mall yang letaknya dekat dengan apartemen tempat Samuel tinggal. Setelah membereskan kekacauan yang diperbuat Samuel, Waniar mengajak Belinda dan adiknya itu untuk makan bersama.

Tadi, Waniar menyuruh Samuel untuk berganti baju terlebih dahulu. Tidak nyaman rasanya jika Samuel diberikan pandangan menyedihkan dari orang-orang asing nantinya. Samuel mengerti, ia sudah biasa menghadapi hal ini sendirian.

“Makan yang banyak, mumpung sama gue,” ucap Waniar saat pesanan mereka sudah datang. Samuel mengangguk saja. Terasa menyenangkan ketika ditraktir oleh kakaknya yang satu itu.

Setelah selesai makan, mereka berbincang sejenak. Meredakan segala kepanikan yang tadi menimpa mereka.

By the way, dia siapa, Kak? Kita belum kenalan dari tadi,” ucap Samuel, menyadarkan Waniar yang belum memperkenalkan keduanya.

“Oh iya, baru inget. Ini Belinda, partner kerja gue.”

Belinda tersenyum, lalu mengulurkan tangannya kepada Samuel.

“Gue Belinda,” ucapnya kepada Samuel.

Samuel menerima uluran tangannya, lalu membalas, “Gue Samuel, adiknya Kak Waniar.”

Belinda manggut-manggut saja. Satu fakta baru tentang Waniar hari ini, dia mempunyai adik.

“Gue baru tau kalau lo punya partner, Kak.”

“Baru-baru aja, kok. Baru sebulanan.”

Wajar saja Samuel tidak tahu, karena Waniar memang tipe orang yang tertutup. Ia hanya bercerita hal-hal yang menurutnya penting.

“Terus, kenapa Kak Satria tiba-tiba mau ke sini? Masa, gara-gara gue doang?”

“Salah satu alasannya, ya, karena khawatir sama lo. Tapi, alasan sebenarnya dia ke sini karena gue ada urusan sama dia, masalah project gue.”

Samuel meringis pelan. Sebenarnya, ia sangat takut untuk bertemu dengan kakak sulungnya saat ini. Ia pasti akan diinterogasi habis-habisan.

“Kenapa tiba-tiba banget, deh.”

“Nggak tiba-tiba, kok. Lo-nya aja yang nggak bisa dihubungin,” cibir Waniar.

“Ya maaf, Kak.”

Samuel merunduk dalam. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya.

“Nggak usah merasa bersalah gitu, Sam. Lo nggak salah. Lo juga nggak usah maksa cerita kalau emang nggak mau.” Ucapan Waniar memberikan Samuel sedikit ketenangan. Setidaknya, ada yang mengerti perasaannya saat ini.

“Udah, yuk, bayar. Gue sama Belinda mau balik kantor lagi, nih.”

Waniar baru berkenalan dengan Belinda secara langsung ketika ia baru saja kembali dari liburannya. Dan kesan pertama yang timbul dalam benaknya adalah; Belinda itu wanita yang aneh. Wanita itu terus-terusan menatap Waniar dengan ekspresi wajah yang tidak bisa digambarkan. Entah ia bingung, kesal, atau merasa terganggu dengan adanya Waniar di ruangan itu.

Kesan pertama Belinda terhadap Waniar tidak jauh berbeda. Ia menganggap pria itu aneh. Dengan kacamata berlensa tebal yang entah mengapa cocok, dan pakaian yang dikenakannya tidak seperti pakaian karyawan lain dalam ruangan itu.

Kaos turtle neck putih dan jaket jeans berkerah. Membuat pemuda itu terlihat berbeda dari karyawan lain.

“Hayo… Jangan kelamaan tatapannya, nanti bisa jatuh cinta, lho,” goda salah seorang dari karyawan di dalam ruangan tersebut.

Waniar langsung membuang muka. Sudah waktunya untuk kembali bekerja.

Melihat Waniar yang berjalan menuju meja kerjanya. Di sana, ia membuka laci meja, lalu mengambil sebuah flashdisk. Setelah itu, Waniar meninggalkan ruangan tersebut, menuju ke tempat yang dikhususkan untuk pemuda itu bekerja.

Belinda mengerutkan keningnya bingung, membuat seorang pemuda yang duduk di sebelahnya membuka suara. “Nggak usah bingung, dia emang biasanya nggak kerja di sini. Kadang-kadang doang kalau ada tugas bareng,” jelasnya.

Demi menuntaskan rasa penasarannya, Belinda langsung bertanya, “Setelannya kenapa beda dari karyawan lain?”

“Dia emang gitu. Anak emasnya Direktur. Lagian, di divisi ini juga nggak ada aturan berpakaian, tapi anak-anak emang biasanya pakai kemeja aja.”

Belinda amat bingung. Kenapa hal tersebut tidak ada di kantor lamanya dulu.

“Udah, balik kerja aja sana. Nanti, kalau dia butuh, dia bakal balik lagi, kok.”

Belinda menurut saja. Ia juga masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.


Seperti kata karyawan lain, Waniar akan kembali jika ia membutuhkan mereka.

Saat itu, Belinda sudah menyelesaikan pekerjaannya hari itu, sehingga ia bisa beristirahat sejenak. Dan tiba-tiba saja Waniar masuk ke dalam ruangan, dan langsung memberikan Belinda beberapa pekerjaan untuk mereka selesaikan bersama.

Hal yang membuat Belinda kagum adalah cara Waniar bekerja. Pemuda itu benar-benar fokus, dan cekatan. Tak lama, pekerjaan mereka telah selesai. Baru kali ini Belinda menyelesaikan pekerjaannya secepat itu.

“Kan, apa gue bilang. Dia bakal datang kalau emang ada kerjaan bareng. Nah, gimana, nih, kesan pertama kerja sama anak emas?” ujar James, karyawan yang memberi tahu Belinda informasi tentang Waniar.

Not bad, sih. Kerjanya cepet dan efisien.”

“Kan! Anak emas emang nggak usah diragukan, sih. Pokoknya dia, tuh, kebanggaan divisi ini banget.”

“Mumpung lagi istirahat, nih. Ada yang mau lo tanyain lagi tentang Waniar?” Salah seorang karyawan lain berseru.

Belinda menoleh, lalu mengernyit bingung.

“Gue Kalyan, kalau belum tau,” ucapnya saat menangkap tatapan bingung Belinda.

“Jadi, apa yang mau lo tanyain? Kali aja gue bisa jawab,” lanjut Kalyan bersemangat.

“Kalian nggak ada perasaan kesel pas dia disebut anak emas?” tanya Belinda tiba-tiba.

Kalyan dan James saling bertatapan, lalu tertawa bersama. “Kesel, sih, iya. Waktu pertama kali masuk. Soalnya, kita seumuran, tapi kenapa cuman dia yang diistimewakan. Tapi, pas tau kalau dia masuk duluan, dan termasuk senior, kita cuman bisa diem-diem aja. Terus, pas disatuin di satu proyek waktu itu, kita jadi ngerti kenapa dia jadi anak emas. Dia emang jenius, banget. Kita juga jadi lebih sering kerja bareng dia dibanding sama senior lain.”

Belinda menyimak penjelasan Kaylan dalam diam. Sepertinya perjalanannya untuk bekerja bersama Waniar masih panjang.

“Jadi, bisa dibilang kalau kalian lumayan deket?”

Kaylan dan James mengangguk bersama.

“Kita juga sering makan bareng di luar jam kerja. Dia anaknya juga asik.”

“Oh iya, lo belom tau satu fakta ini, kan?” seru James bersemangat, sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya.

“Apaan?”

“Ini, lho, Waniar itu gamers, dia punya channel youtube pribadi.” James menyodorkan ponselnya kepada Belinda.

Belinda melebarkan matanya tidak percaya. 500 ribu pengikut. Sulit untuk dipercaya.

“Hebat, kan!”

Belinda mengangguk kaku. Wanita biasa sepertinya menjadi partner Waniar yang jenius? Jangan bercanda!

“Kayaknya besok gue ngajuin pindah kantor lagi, deh. Gue nggak bisa disandingin sama dia!”