Masukan

“Sam, gimana menurut lo tentang partner gue tadi siang?” tanya Waniar saat keduanya sedang berbaring di atas sofa sambil menonton siaran televisi.

Samuel mengangkat alisnya sambil berpikir sejenak. “Menurut gue dia orangnya baik, sih. Dia tahu apa yang gue butuhin tadi. Dan yang gue lihat tadi, dia bisa nempatin dirinya sendiri di berbagai situasi berbeda.”

“Menurut lo, gue bakal cocok temenan sama dia, nggak?”

“Menurut lo gimana, Kak? Lo cocok nggak kerja sama dia, atau ada di sekitar dia?” Samuel menatap yang lebih tua dengan tatapan serius. Tidak biasanya sang kakak meminta pendapat darinya, sehingga ia ingin membantu sebisa mungkin.

“Selama ini, sih, gue nggak merasa terganggu sama kehadiran Belinda. Tapi, gue cuman nggak mau terlalu ngerepotin dia aja. Soalnya, dari yang gue denger dari karyawan lain, dia dipaksa buat pindah cabang, terus akhirnya disuruh jadi partner kerja gue.”

“Anjir, kasihan banget,” Samuel meringis sambil membayangkan betapa berat berada di posisi wanita itu.

“Menurut lo gue harus ngapain, Sam? Coba untuk akrab, atau kayak biasa aja?”

“Kalau lo mau, coba akrabin diri, deh. Kan, nggak tau kalian bakal kerja bareng sampai kapan.”

Waniar menundukan kepalanya, ia sedang mempertimbangkan masukan dari Samuel.


Saat Waniar tiba di kantor, matanya langsung tertuju kepada Belinda yang sudah sibuk dengan pekerjaannya. Waniar berjalan mendekat, ia ingin mencoba untuk mengakrabkan diri kepada Belinda. Pria itu berdeham pelan, mencuri atensi dari sang wanita.

Belinda yang tadinya fokus, langsung mendongakkan kepalanya demi melihat Waniar yang mencuri atensinya dari laptop di hadapan wanita itu. Melihat Waniar yang berdiri dengan tas di pundaknya membuat Belinda tersenyum kecil, tak lupa dengan sapaannya yang aneh.

“Udah bangun pagi ini?”

Waniar mengangguk saja, walaupun belum terbiasa dengan sapaan aneh dari partner-nya.

“Lo mau ikut gue ngadep produser, nggak?” tanya Waniar tanpa basa-basi.

“Mau serahin yang kemarin, ya? Ikut, deh.”

“Tapi nanti, setelah makan siang,” seru Waniar cepat saat Belinda sudah bersiap untuk berdiri dari tempatnya.

“Oh, bilang dong.” Belinda kembali menyandarkan tubuhnya.

Tanpa kata, Waniar langsung berbalik dan meninggalkan Belinda yang kembali sibuk. Namun, pria itu kembali lagi ketika teringat bahwa ia ingin menanyakan sesuatu.

“Kemarin lo kenapa?”

“Oh, engga. Kemarin gue cuman lagi overthink dikit. Maaf kalau tingkah gue yang kemarin aneh banget, gue nggak maksud, kok,” jawab Belinda dengan kikuk. Ia juga tidak mengerti kenapa pikirannya membawa ia melakukan hal yang memalukan seperti itu.

Sejujurnya, ia juga tidak siap dengan respons Waniar kepadanya hari ini.

“Santai aja, Lin. Lo kalau mau temenan nggak apa-apa, sih. Lagian, kita itu partner, jadi harus bisa deket, kan?”

Belinda menatap Waniar dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Saat itu, ia bisa melihat sisi lain dari Waniar yang tidak ia tunjukan kepada orang-orang di sekitarnya.