Felicia

Samuel datang tepat sebelum pukul 9 pagi, dan sesuai dugaannya geng Bagas sudah terlebih dahulu menduduki kursi belakang, dan kali ini tidak bersama Samuel melainkan bersama Iksan. Samuel diam-diam melirik, dan mendapati Bagas sedang menatap ke arahnya. Samuel tidak peduli, ia segera mencari tempat kosong yang bisa ia duduki saat ini.

Samuel menoleh ke sebelah kanannya, mendapati salah seorang teman sekelasnya duduk di barisan kanan paling depan. Hanya itu bangku tersisa yang bisa ia duduki dan jaraknya paling jauh dari jangkauan Bagas. Tanpa berlama-lama, Samuel segera melangkahkan kakinya menuju meja di depan kelas.

“Hai, Fel. Di sini kosong, nggak?” tanya Samuel sambil menunjuk bangku yang kosong.

“Nggak bisa lihat? Ada tas-nya,” jawab Felicia dengan sedikit ketus. Samuel hanya tersenyum canggung, lalu hendak berbalik meninggalkan Felicia, si anak terpintar di kelas.

“Mau ke mana? Sebelah gue masih ada bangku kosong, kok,” Felicia kembali membuka suara sebelum Samuel sempat berbalik meninggalkannya.

Samuel lagi-lagi hanya tersenyum canggung, lalu tanpa berlama-lama ia segera duduk di bangku yang Felicia tunjuk.

Tak lama, perkuliahan pun dimulai, dan selama 2 jam perkuliahan Samuel selalu merasa tidak tenang. Entah karena perlakuan Felicia kepadanya, atau karena Bagas yang terus-terusan menatapnya dari belakang.

Setelah perkuliahan selesai, Samuel tidak langsung keluar dari kelas. Ia kembali menunggu agar Bagas dan teman-temannya keluar dari kelas terlebih dahulu, namun sepertinya keputusan yang ia buat salah.

“Sam! Kantin, yuk!” ajak Bagas dari bangku belakang.

Samuel menghela nafasnya, harusnya dia keluar duluan saja tadi.

Baru saja Samuel hendak mengiyakan ajakan Bagas, Felicia langsung memotongnya.

Sorry, tapi Samuel bareng gue hari ini. Gue sama dia sudah janjian,” ucap Felicia sambil menarik tas yang Samuel kenakan.

Tanpa menunggu jawaban dari Bagas, Felicia segera menarik Samuel keluar dari kelas bersama salah seorang temannya yang mengikuti.


“Selama bareng gue, lo bakal aman,” ucap Felicia sambil menusuk plastik minumannya. Kini mereka berada di kantin FK, tempat yang sangat jarang dikunjungi oleh mahasiswa FISIP.

“Perasaan tadi lo ketus sama gue, kok sekarang jadi baik?” tanya Samuel sambil menyisihkan bawang goreng dari nasi gorengnya.

“Kenapa? Nggak boleh?”

“Nggak gitu…”

“Udahlah, emang begitu orangnya, Sam. Gengsinya ketinggian,” ucap Jaguar, teman Felicia yang menengahi keduanya.

“Diem lu, bocah nolep,” seru Felicia sambil memukul pundak temannya itu.

“Udah, intinya kalau lo selalu bareng gue, lo bisa aman dari itu bocah-bocah benalu. Mereka nggak akan berani sama gue,” ujar Felicia sambil mengepalkan tangannya.

Memang harus diakui, tidak ada seorang pun dari geng Bagas yang berani berurusan dengan Felicia, aset dari Ilmu Komunikasi. Otaknya yang pintar dan sering mewakili fakultas dan kampus membuat orang-orang segan berurusan dengannya, ditambah sifatnya yang agak ketus dan tidak kenal takut.

“Jadi official, nih?” tanya Jaguar ambigu.

Official apa, anjing?” Felicia menatap Jaguar galak, membuat yang ditatap terkekeh pelan.

“Temenan, anjing. Temenan sama Samuel,” jawab Jaguar sambil menunjuk Samuel yang duduk di hadapannya.

“Oh. Iya, mulai sekarang kita temenan, ya, Sam. Kalau lu diganggu sama Bagas, kasih tahu aja. Nanti gue yang urus.”

Samuel hanya menatap Felicia bingung, ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

“Ah, reaksi lu nggak asyik. Seneng dikit, kek. Gue ngajak lu temenan, nih,” protes Felicia atas reaksi Samuel yang ia anggap biasa saja.

“Hah? Lu mau gue bereaksi kayak bagaimana, anjir?” tanya Samuel sambil kebingungan.

“Udahlah, nggak usah dituruti, Sam. Memang nggak jelas,” ucap Jaguar sambil merebut es teh yang sedang diminum oleh Felicia.

“Heh, anak anjing, es teh gue!” teriak Felicia sambil merebut kembali minumannya.

“Minta dikit, anjir, gue haus.”

“Beli sendiri, monyet!”

Samuel hanya duduk terdiam melihat kejadian di hadapannya itu. Kenapa hidupnya selalu dikelilingi oleh orang-orang aneh?