Semua baik-baik saja

“Kak, temen gue kayaknya tertekan gara-gara lo, deh,” sahut Waniar ketika sedang berkumpul bersama Satria dan Samuel di ruang tengah unit apartemen milik Samuel.

Satria mengangkat alis bingung. “Kenapa emangnya?”

“Katanya aura lo ngeri, buat orang tertekan,” jawab Waniar sambil sedikit tertawa.

“Ada-ada aja, Wan. Emangnya gue se-mengerikan itu, kah?” ucap Satria sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Lah, emangnya lo nggak sadar, Kak?” Samuel ikut mengangkat suara.

“Emangnya iya? Kok, gue nggak ngerasa gitu?”

“Lo nggak pernah ngerasain berhadapan sama diri lo sendiri, sih. Kan, kalau kita udah sering berhadapan sama lo, Kak.”

Waniar mengangguk-angguk saja, karena semua yang ingin dia sampaikan sudah diwakilkan oleh Samuel.

Satria menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sepertinya benar apa yang dikatakan adik-adiknya.

“Oh iya, Kak. Lo sampai kapan di sini?” tanya Samuel setelah hening karena ketiganya sedang menikmati tontonan di TV.

“Sampai lo ngerasa lebih baik dan nggak aneh-aneh lagi,” jawab Satria tanpa menoleh kepada adiknya.

“Apa, sih, Kak. Gue nggak apa-apa, kok,” ujar Samuel sambil tertawa canggung.

“Terus yang gue lihat kemarin itu apaan, Sam?” Waniar menimpali. Jujur ia masih sangat khawatir dengan adiknya itu.

Samuel menatap Waniar takut-takut. Semalaman penuh Waniar terus menjaganya dan tidak pernah meninggalkan dia sendirian di dalam kamar. Waniar menunggu Samuel hingga pemuda itu bisa tertidur di pukul 3 pagi.

Satria mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Samuel dengan erat. Menyalurkan sebuah kekuatan yang bisa dirasakan dalam persaudaraan mereka.

“Gue nggak akan paksa lo untuk cerita, tapi gue cuman pengen lo tau kalau gue akan selalu ada dipihak lo sampai kapanpun. Mau seberat apapun langkah lo, dan sesakit apapun diri lo, gue selalu siap buat nyamperin lo,” Satria mendekat kepada Samuel demi bisa memeluk tubuh adiknya itu. Sebuah pelukan yang jarang mereka lakukan selama hidup bersama.

Waniar ikut mendekat dan memeluk keduanya walaupun merasa canggung.

“Kalau lo belum ngerasa baikan, mau coba ke psikolog, nggak?” tawar Satria.

Samuel menggeleng, ia merasa keadaannya tidak separah itu untuk dibawa menemui bantuan profesional.

“Ya udah, tapi nanti kalau lo emang butuh, kabarin gue aja, ya,” ucap Satria sambil mengelus kepala yang lebih muda.