di balik si sulung

Samuel dan Waniar tetap pada tempat tinggal masing-masing, keputusan itu yang datang setelah ketiga bersaudara itu selesai berdiskusi. Samuel dan Waniar juga sepakat, jika Samuel sedang tidak baik-baik saja, ia akan menghubungi Waniar secepatnya.

Diskusi itu mereka tutup dengan makan malam, lalu disambung dengan menonton film bersama, walaupun Waniar tetap sibuk dengan laptopnya.

Waktu sudah berjalan menuju jam setengah sebelas malam. Samuel sudah tidur dengan nyaman di samping Satria yang duduk di sebelahnya, sedangkan Waniar yang duduk terpisah masih berkutat dengan pekerjaannya, menyisakan Satria yang sudah menonton film kedua. Tidak banyak yang ia lakukan selama mengunjungi kedua adiknya itu, sehingga rasanya seperti liburan biasa.

Waniar mengusap wajahnya pelan, sepertinya ia sudah mulai mengantuk. “Tidur aja, Wan, kalau nggak kuat,” ucap Satria tanpa membalikkan badannya kepada Waniar, seakan ia tahu kalau adiknya sudah mulai lelah.

“Tanggung, Kak,” balas Waniar tanpa memindahkan fokusnya.

“Lo lagi ngerjain apa, sih, Wan? Kayak sibuk banget dari tadi,” tanya Satria yang sudah mulai penasaran.

“Ngerjain laporan, Kak. Besok siang deadline-nya,” jawab Waniar dengan jari-jari yang masih bergerak di atas keyboard laptop.

“Kenapa mepet banget lo kerjainnya?”

“Baru diminta tadi pas makan malam, gimana nggak pusing, coba?” keluh Waniar dengan nada kesal. Walaupun sudah terbiasa mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa orang di kantor, Waniar tetap saja bisa kesal.

“Kalau gitu istirahat dulu, jangan sampai stres,” ucap Satria mengingatkan.

Waniar mendengus saja, tak menuruti ucapan sang sulung. Tak berapa lama kemudian, ia kembali membuka suara.

“Lo nggak capek, Kak?” tanya Waniar tiba-tiba.

“Capek kenapa?” Satria balik bertanya, ia sepertinya bisa menebak arah percakapan ini.

“Capek selalu ngurus adek-adek lo, walaupun udah nggak satu rumah.”

“Kenapa tiba-tiba nanya gitu? Lo juga capek, ya?”

“Nggak, gue cuman penasaran. Lo, kan, manusia, pasti capek juga dengan tanggung jawab lo selama ini.”

Satria terdiam lama, kemudian malah balik bertanya, “Kalau lo sendiri gimana, Wan? Pasti capek juga, kan?”

Waniar hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban.

“Gue lagi mau denger cerita lo, Kak. Jadi jangan balikin pertanyaannya ke gue.” Satria akhirnya mengalah.

“Gue mau ngeluh capek juga percuma, Wan. Gue salah satu yang jaga keseimbangan rumah, jadi mau nggak mau harus kuat,” ucap Satria mulai mengeluarkan isi kepalanya.

“Gue tumbuh di bawah tekanan Ayah, harus jaga adek-adek gue, harus sempurnain akademik gue, harus buktiin diri kalau gue bisa ngewarisin perusahaan Ayah. Lo bisa bayangin, lah, gimana diaturnya hidup gue dari kecil sampai besar. Gue lakuin ini juga supaya nggak berimbas ke kalian, biar kalian bisa ngeraih apa yang kalian mau.”

Waniar menatap sang Kakak yang berbicara tanpa melihat dirinya. Ternyata selama ini si sulung telah berkorban demi adik-adiknya. Ia rela mendapat tekanan dari Ayah, asal hal itu tidak berimbas kepada adik-adiknya.

“Lo selama ini ditekan Ayah, tapi nggak pernah ngeluh sedikit pun?” ujar Waniar heran.

“Kan, udah gue bilang, Wan. Ngeluh pun percuma,” balas Satria sambil tersenyum getir, ia masih tidak menatap adiknya. Waniar menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, perasaannya campur aduk.

“Yang mengkhawatirkan di sini itu elo, Kak, tapi kenapa lo masih bisa khawatir sama orang lain, sih?”

“Gue takut, Wan. Gue takut kehilangan salah satu dari kalian, adik-adik gue. Gue nggak apa-apa hancur sendiri, asal kalian semua nggak perlu ngerasain apa yang gue rasain.” Kini Satria melirik Samuel yang tengah tertidur di sebelahnya. Wajah tenang pemuda itu membuat Satria meringis, menyadari kenyataan bahwa adiknya sudah menyakiti dirinya sendiri beberapa hari yang lalu.

“Nggak adil rasanya, Kak. Lo tau semua tentang adek-adek lo, tapi gue dan yang lain nggak tau tentang lo. Tolong, setidaknya anggap saudara-saudara lo sebagai tempat lo berlindung juga, Kak,” pinta Waniar, ia sudah tidak peduli dengan laporan setengah rampung yang ia tinggalkan.

Satria mengangguk kecil. Hal itu sudah ia lakukan dari dulu, ia selalu menjadikan saudara-saudaranya sebagai tempat pulangnya, tempat ia bisa melupakan sejenak hidupnya yang semakin lama semakin tidak berarah.

“Kalau gue minta lo untuk nggak sering-sering khawatir, boleh nggak?” lanjut Waniar.

Satria melengos, lalu menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa. “Entah kenapa perasaan khawatir gue selalu nggak bisa hilang. Mungkin itu dilandasi karena gue nggak mau kehilangan salah satu dari kalian, jadi sebisa mungkin gue mau memastikan kalian baik-baik aja supaya gue bisa tenang.”

Keadaan hening sesaat, sepertinya Waniar sedang mencerna perkataan sang Kakak.

“Seumur hidup gue udah mati-matian bertahan demi kalian, dan sekarang giliran gue mati-matian buat salah satu dari kalian bertahan demi gue. Berat rasanya keadaan berbalik kayak gini,” lanjut Satria setelah jeda sejenak sambil mengelus rambut Samuel yang tertidur di sebelahnya.

Waniar menundukkan kepalanya sambil mengelus rambutnya yang sedikit panjang. Perasaannya sungguh campur aduk, baru kali ini ia melihat sisi lain dari si sulung. Pemuda tinggi itu beranjak dari tempatnya, hendak mengambil minuman dingin di kulkas.

“Jangan minum yang dingin-dingin, udah malam,” tegur Satria seakan tahu pergerakan Waniar, padahal dirinya sedang duduk membelakangi tempat Waniar berdiri sekarang.

“Kadang lo nyeremin, tau, Kak,” ujar Waniar yang beralih dari kulkas ke kepada air mineral di atas meja.

Satria terkekeh saja, seperti biasa ia selalu tahu pergerakan adik-adiknya.

Setelah minum, Waniar ingin mengatakan sesuatu kepada Satria, tapi entah kenapa hal itu terasa akan sangat kaku bila ia ucapkan. Pada akhirnya Waniar hanya menggeleng pelan, kemudian kembali ke tempatnya duduk. Namun, setelah memikirkannya kembali, Waniar memutuskan akan mengatakan hal lain kemungkinan tidak akan menimbulkan reaksi aneh dari sang Kakak.

“Kak,” panggil Waniar.

Satria berbalik menatap adiknya yang akan kembali pada pekerjaannya.

“Gue seneng lo masih ada sampai sekarang.”