Panik

tw // selfharm

Belinda mengerutkan keningnya saat melihat Waniar yang bekerja dalam diam. Tidak ada percakapan di antara keduanya, membuat suasana sangat canggung. Belinda ingin beranjak saat jam istirahat tiba, namun ketika melihat Waniar yang sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, membuat Belinda mengurungkan niatnya. Dia juga tidak begitu lapar, tugasnya di sini hanya mengamati, menemani, dan membantu Waniar bekerja.

Keduanya kembali sibuk, sampai suara bel ponsel milik Waniar mengganggu pekerjaan mereka. Belinda mengernyit bingung, menurut pengamatannya, Waniar adalah tipe orang yang selalu meninggalkan ponselnya dalam mode silent, ternyata ia memasang bel khusus untuk beberapa orang yang ia anggap penting.

Waniar melirik sekilas, walaupun sudah tahu siapa yang menelepon, tetapi tetap saja ia juga penasaran.

“Halo, Kak. Kenapa?” Itu kali kedua Belinda mendengar suara Waniar hari itu, ia masih belum terlalu terbiasa mendengar suara partner kerjanya.

“Belum, gue belum ketemu dia hari ini.”

“…”

Setelah mendengar perkataan kakak sulungnya dari telepon, pemuda itu langsung berdiri dari tempatnya. Ia terlihat sedikit panik.

“Gue ke sana sekarang, nanti gue kabarin lagi.” Setelah itu Waniar menutup telepon, dengan gerakan cepat, ia segera memakai jaket yang tadinya ia lepas.

Belinda mengernyit bingung ketika pemuda itu berdiri di hadapannya.

“Lo bawa mobil, kan? Ayo ikut gue sekarang.” Tak sempat Belinda membuka mulutnya, ia langsung ditarik Waniar keluar dari ruangan kerja mereka. Belinda hanya sempat meraih ponsel dan kunci mobilnya.

Waniar yang menyetir, sedangkan Belinda duduk di kursi penumpang. Gadis itu sempat mengira kalau Waniar membawanya hanya untuk menjadikannya sebagai sopir pribadi pemuda tinggi itu.

Belinda melirik sedikit ke arah Waniar, pemuda itu terlihat panik walaupun wajahnya tetap datar. Mobil yang mereka kendarai melaju dengan kecepatan rata-rata, Waniar selalu tau batasan jika mengemudi di jalan raya.

Tak sampai setengah jam kemudian, keduanya sudah tiba di daerah salah satu apartment di dekat mall besar. Tanpa sadar, Waniar menggandeng tangan Belinda saat mereka melintasi lobby. Tujuan mereka saat ini ada di lantai 7, Waniar mengeluarkan kartu akses yang Satria berikan padanya sesaat setelah salah satu adiknya pindah ke sana.

Mereka menaiki lift menggunakan kartu akses tersebut. Beberapa menit kemudian, mereka sudah tiba di depan kamar yang dituju.

Lantai itu mempunyai 6 unit, dan salah satunya ditempati oleh salah satu adik Waniar. Belinda sangat bingung sekarang, kenapa mereka hanya berdiri diam selama satu menit di depan pintu tanpa melakukan apa-apa?

Waniar mengeluarkan ponselnya, lalu menekan salah satu nomor yang telah ia bintangi. Tidak ada respons apa-apa, membuat Waniar menghela nafasnya kasar.

Dengan terpaksa ia harus masuk sendiri untuk bertemu dengan adiknya.

Bip.

Pintu terbuka, menampilkan keadaan apartment yang sangat berantakan. Penghuninya tidak terlihat di sekitar ruang tamu, begitu juga dengan open kitchen yang entah bagaimana menjadi satu-satunya ruangan yang terlihat bersih.

“Samuel!” Suara waniar menggelegar di ruangan itu, membuat Belinda terlonjak kaget.

Waniar bergerak menuju kamar mandi tamu di dekat jendela besar, tapi ia tidak mendapatkan apa-apa. Ia kemudian mengecek setiap kamar dan ruangan di dalam unit Samuel, sampai ia menemukan salah satu kamar mandi yang terkunci.

“Samuel. Gue tau lo di dalam. Tolong buka, gue mau ngomong,” ucap Waniar sambil mengetuk pintu kamar mandi dengan pelan.

“Sam, please. Kak Satria nyariin lo dari kemarin, jangan buat dia khawatir.”

Belinda menatap punggung lebar Waniar, entah kenapa hatinya terasa sakit mendengar suara lirih pemuda itu.

“Gue bakal nunggu sampai lo mau keluar. Gue cuman pengen lihat keadaan lo doang, Sam.” Waniar menunggu di depan pintu kamar mandi selama lebih dari 5 menit, ia menunggu sampai tubuh Samuel muncul dari balik pintu.

Keadaan Samuel tidak lebih baik dari keadaan apartment-nya, rambutnya sangat berantakan, matanya sembap, tangannya penuh dengan garis-garis merah yang ia ciptakan sendiri. Pemuda itu hanya memakai kaus putih dan celana pendek, tampilannya seperti baru bangun dari tidur.

Waniar melirik keadaan kamar mandi di belakang Samuel. Sangat berantakan. Waniar meringis kecil saat mendapati banyak benda tajam yang berhamburan di dalam sana.

“Ke ruang tamu, langsung telepon Kak Satria,” perintah Waniar sambil mendorong sedikit tubuh Samuel agar ia bisa memasuki kamar mandi itu.

“Belinda, tolong jagain dia di ruang tamu, gue beresin ini dulu,” sambung Waniar.

Belinda agak kaget ketika namanya disebutkan, padahal dari tadi ia tidak mengajak gadis itu bicara sama sekali. Gadis itu mengangguk saja, kemudian ia mengikuti langkah Samuel yang berjalan menuju ruang tamu.

Waniar berjongkok, dengan tenang ia memunguti satu per satu benda tajam dari lantai. Setelah itu barulah ia mulai membersihkan kamar mandi itu menjadi seperti sediakala. Saat keluar dari kamar mandi, pandangan Waniar langsung tertuju kepada Samuel yang sudah memegang segelas teh di tangannya.

“Kak, maaf…” lirih Samuel kepada Waniar yang sudah duduk di hadapannya.

“Iya, nggak apa-apa. Udah telepon Kak Satri, belom? Tadi dia panik banget nyariin lo,” tanya Waniar.

“Belum… Gue masih takut, Kak.”

Waniar menghela nafasnya, matanya menangkap pergerakan Belinda yang bergabung dengan 2 gelas teh di tangannya.

“Mau teh?” tanya Belinda agak ragu. Waniar mengangguk, diulurkan tangannya untuk menerima gelas teh itu dari tangan Belinda.

Hening sejenak. Mereka sibuk menikmati minuman masing-masing.

“Besok Kak Satria ke sini, jadi malam ini gue nginep di sini.” Suara waniar memecahkan keheningan, membuat Samuel langsung menatap kakaknya.

“Gue nggak kenapa-kenapa, Kak. Nggak perlu sampai segitunya.”

“Lo udah nelepon Kak Satria?” Samuel menggeleng.

“Telepon dulu, biar jelas,” ucap Waniar sambil menyandarkan tubuhnya pada sofa.

Samuel awalnya menolak, sampai Waniar harus mewakili adiknya untuk menelepon sang kakak sulung.

“Halo, Kak. Ini Samuel udah sama gue.”

“…”

“Mendingan lo ngomong langsung ke orangnya deh, daripada ke gue lagi.”

Waniar memberikan ponselnya kepada Samuel, dan diterima dengan ragu-ragu oleh adiknya itu.

“Kak Satria mau ngomong,” kata Waniar saat ia tidak kunjung menempelkan telinganya pada benda pipih yang ia genggam.

Samuel berdiri, ia berjalan menjauh dari Waniar dan Belinda.


Kini ketiganya sudah berada di mall yang letaknya dekat dengan apartemen tempat Samuel tinggal. Setelah membereskan kekacauan yang diperbuat Samuel, Waniar mengajak Belinda dan adiknya itu untuk makan bersama.

Tadi, Waniar menyuruh Samuel untuk berganti baju terlebih dahulu. Tidak nyaman rasanya jika Samuel diberikan pandangan menyedihkan dari orang-orang asing nantinya. Samuel mengerti, ia sudah biasa menghadapi hal ini sendirian.

“Makan yang banyak, mumpung sama gue,” ucap Waniar saat pesanan mereka sudah datang. Samuel mengangguk saja. Terasa menyenangkan ketika ditraktir oleh kakaknya yang satu itu.

Setelah selesai makan, mereka berbincang sejenak. Meredakan segala kepanikan yang tadi menimpa mereka.

By the way, dia siapa, Kak? Kita belum kenalan dari tadi,” ucap Samuel, menyadarkan Waniar yang belum memperkenalkan keduanya.

“Oh iya, baru inget. Ini Belinda, partner kerja gue.”

Belinda tersenyum, lalu mengulurkan tangannya kepada Samuel.

“Gue Belinda,” ucapnya kepada Samuel.

Samuel menerima uluran tangannya, lalu membalas, “Gue Samuel, adiknya Kak Waniar.”

Belinda manggut-manggut saja. Satu fakta baru tentang Waniar hari ini, dia mempunyai adik.

“Gue baru tau kalau lo punya partner, Kak.”

“Baru-baru aja, kok. Baru sebulanan.”

Wajar saja Samuel tidak tahu, karena Waniar memang tipe orang yang tertutup. Ia hanya bercerita hal-hal yang menurutnya penting.

“Terus, kenapa Kak Satria tiba-tiba mau ke sini? Masa, gara-gara gue doang?”

“Salah satu alasannya, ya, karena khawatir sama lo. Tapi, alasan sebenarnya dia ke sini karena gue ada urusan sama dia, masalah project gue.”

Samuel meringis pelan. Sebenarnya, ia sangat takut untuk bertemu dengan kakak sulungnya saat ini. Ia pasti akan diinterogasi habis-habisan.

“Kenapa tiba-tiba banget, deh.”

“Nggak tiba-tiba, kok. Lo-nya aja yang nggak bisa dihubungin,” cibir Waniar.

“Ya maaf, Kak.”

Samuel merunduk dalam. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya.

“Nggak usah merasa bersalah gitu, Sam. Lo nggak salah. Lo juga nggak usah maksa cerita kalau emang nggak mau.” Ucapan Waniar memberikan Samuel sedikit ketenangan. Setidaknya, ada yang mengerti perasaannya saat ini.

“Udah, yuk, bayar. Gue sama Belinda mau balik kantor lagi, nih.”