“Gue curiga, deh. Lu selama ini nongkrong di kantin FK itu karena mau mantau cowok lo, ya?” tanya Samuel ketika mereka kembali mengunjungi kantin FK.
“Kagak, anjir. Cowok gue anak bisnis,” sangkal Feli sambil memukul kepala Samuel dengan kertas di tangannya.
“Emang seneng aja dia di sini, Sam. Soalnya langganan dia tiba-tiba pindah ke kantin FK, jadi mau nggak mau harus ke sini,” ucap Jaguar sambil merangkul pundak Samuel.
“Kesel, anjir. Tiba-tiba pindah waktu gue lagi sayang-sayangnya.” Jaguar tertawa keras mendangar hal itu.
“By the way, Sam. Lo tumben banget pakai baju panjang, nggak kepanasan?” tanya Feli yang sadar akan perubahan berpakaian Samuel.
“Engga, gue malah kedinginan, anjir,” jawab Samuel beralasan, sambil sesekali menutupi pergelangan tangan kirinya dari perhatian kedua temannya.
“Lo sakit?” tanya Jaguar sambil membandingkan suhu dahi Samuel dengan dirinya.
“Engga. Emang lagi dingin aja,” Samuel mengelak sambil menepis tangan Jaguar yang bertengger di dahinya.
“Kalau ngerasa sakit, nanti ngomong aja, Sam. Ada rumah sakit di sana,” ucap Feli sambil menunjuk ke arah Gedung FK. Samuel mencibir saja, lalu segera meletakkan tasnya di salah satu meja yang telah dipilih oleh Jaguar. Setelah itu, Feli dan Jaguar pergi untuk memesan makanan terlebih dahulu, meninggalkan Samuel yang menjaga barang bawaan mereka.
Sembari menunggu, Samuel mengeluarkan laptopnya untuk menyelesaikan beberapa tugas. Ketika sedang fokus dengan layar di depannya, Samuel tidak menyadari bahwa ada beberapa orang yang tengah memperhatikannya saat ini. Tak lama, ia dihampiri oleh orang-orang yang dari tadi sedang memperhatikannya.
Laptop Samuel diambil paksa, membuat pemuda itu terkejut. Ia mendongakkan kepalanya, dan menemukan Arjuna yang sedang mengamati layar laptop Samuel yang ia ambil. Samuel berdiri dengan panik, sambil berusaha untuk merebut kembali laptop miliknya. Arjuna dengan refleks langsung menjauhkan benda di tangannya dari hadapan Samuel. Ditutupnya layar laptop, lalu menentengnya di tangan kanan, sambil berjalan mendekati Samuel yang menampilkan wajah panik.
“Nggak akan gue apa-apain laptop lo, tenang aja. Gue cuman mau ngomong bentar doang,” kata Arjuna sambil mendorong Samuel untuk kembali duduk di tempatnya.
Dari belakang Arjuna, muncul Bagas yang menatap Samuel dengan pandangan merendahkan. Tentu saja, Samuel bisa menebak kalau hari ini akan datang juga, hari di mana ia akan berurusan dengan Arjuna.
“Gue denger, temen lu kemaren nyari ribut, ya?” Samuel menelan salivanya susah payah, nafasnya tercekat, ketakutan kembali menyelimutinya.
“Bagas bilang, kalau dia udah pernah peringatin lo, tapi lo nggak mau denger. Sekarang gimana, dong? Lo udah ngusik gue banget, dan gue ngerasa terganggu. Jadi, gimana caranya gue bisa buat lo diem?” ucap Arjuna sambil menepuk pelan kepala Samuel dengan laptop di tangannya.
“Harusnya gue yang nanya, gimana caranya biar lo diem” Suara dari belakang punggung Arjuna membuat pemuda itu mendecak sebal. Sepertinya ada seorang yang ingin menjadi pahlawan kesiangan di sini.
Di belakangnya, terlihat 3 orang pria yang salah satunya berbadan lebih besar dari pada Arjuna. Ketiganya terlihat terganggu akan kehadiran Arjuna di area kantin FK.
“Lo nggak usah ikut campur, ini urusan gue bareng junior gue,” seru Arjuna yang tidak senang akan kehadiran mereka.
“Lo udah ribut di meja gue, otomatis gue harus ikut campur,” balas pria yang berbadan besar.
“Oh, lo juga komplotan si cewek rese, ya? Pantesan pengen ikut campur juga. Tapi, gue peringatin aja, kalau mau hidup tenang di kampus ini, jangan cari ribut sama gue.”
“Emangnya lo siapa? Anak rektor? Anak yang punya kampus? Kalau nggak punya kuasa apa-apa, diem aja. Jangan sok jagoan.”
“Gue emang bukan siapa-siapa, tapi gue bisa bikin kehidupan lo di kampus ini nggak tenang. Orang-orang di kampus ini pada tunduk sama gue.”
“Oh, ya? Gue baru tau, lho. Coba, deh, bikin kehidupan gue nggak tenang, bisa nggak?”
“Kalau nggak bisa, diem-diem aja, dek. Jangan omongan doang yang gede,” ucap salah satu pria berbadan besar yang mendekati pemuda itu, lalu merebut kembali laptop milik Samuel.
“Ada apa rame-rame? Perasaan baru gue tinggalin bentar?” Feli yang baru saja kembali bertanya bingung. Pandangannya mengarah kepada ketiga pria yang berdiri tak jauh darinya, lalu kepada Arjuna yang berada di hadapan Samuel.
“Lo gangguin temen gue lagi, ya? Nggak cukup ancaman gue kemaren?” seru Feli marah kepada Bagas yang berdiri tak jauh darinya. Diletakkan nampan makanannya di salah satu meja, lalu ia berjalan menghampiri Bagas dan mencengkram kerah baju pemuda itu.
“Lo nggak ngerti Bahasa manusia atau gimana, anjing!? Udah gue bilang, tinggalin Samuel!” teriak Feli tepat di hadapan wajah Bagas. Pemuda yang sedang diteriaki itu panik, ia tidak menyangka bahwa Feli akan berani kepadanya saat ada Arjuna.
“Tenang, Feli. Tahan diri,” ucap pria berbadan besar sambil menarik Feli menjauh dari Bagas.
“Lo lihat sendiri gimana kelakuan mereka, Kak. Gue nggak bohong soal mereka,” ujar Feli kepada pria yang menariknya itu.
“Iya, gue udah lihat. Apalagi si jagoan yang ngancem temen lo ini, omongannya terlalu besar.”
Pria berbadan besar itu mendekat ke arah Arjuna. Tangannya terangkat untuk memperbaiki kerah baju pemuda yang lebih pendek darinya, lalu bertanya kepada Arjuna, “Nama lo siapa?”
“Arjuna.”
“Arjuna, ya? Inget pesen gue, mendingan lo berhenti sok berkuasa di kampus, yang berpengaruh itu Kakak lo, bukan elo. Gue kenal sama dia, kita temenan dari maba sampai lulus, dan gue tau perjuangannya sampai dikasih julukan Bintang Kampus. Jangan karena kelakuan busuk lo di kampus ini, nama Kakak lo jadi jelek. Jadi, mendingan sekarang lo berhenti, dan fokus nyelesain skripsi lo, kampus nggak akan berbaik hati nampung lo sampai tua.” Setelah berujar demikian, cengkraman pada kerah baju Arjuna dilepaskan sambil bahunya didorong pelan.
“By the way, lo bisa nanyain ke Kakak lo sendiri kalau nggak percaya gue temennya. Sebut aja nama gue, Bevilin Juanda,” lanjut pria berbadan besar bernama Bevilin itu. Arjuna diam saja, masih belum bisa mencerna apa yang telah terjadi.
“Lah, kok rame banget, sih?” tanya Jaguar yang baru saja kembali. Pandangannya mengarah ke arah Bevilin yang langsung tersenyum kepadanya.
“Beli apa, Ja?”
“Burger, Kak. Lagi promo di sana,” jawab Jaguar sambil menunjuk antrian di salah satu kedai.
“Kayaknya menarik. Gue beli makan dulu, deh, pada mau nitip nggak?” tawar Bevilin kepada kedua temannya, lalu kepada Samuel.
“Eh, nggak usah, Kak. Gue pesen sendiri aja,” tolak Samuel.
“Nggak apa-apa, gue yang traktir, nggak terima penolakkan,” paksa Bevilin sambil menepuk-nepuk kepala Samuel dengan gemas.
Seiring kepergian Bevilin bersama kedua temannya untuk memesan makanan, Arjuna juga beranjak bersama komplotannya, membuat Feli mencibir untuk kesekian kalinya. “Kenapa nggak dari tadi aja perginya, bikin kesel aja.”
“Gue Bevilin, yang ini Firza, terus yang diujung itu Jaki,” ucap Bevilin memperkenalkan diri juga teman-temannya.
“Kita bertiga mahasiswa S2 di kampus ini, dan emang sering hangout sama Feli dan teman-temannya,” lanjut Bevilin sambil memasukan sepotong kentang goreng ke dalam mulutnya.
“Wow, berarti emang pada beda-beda umur, ya?” tanya Samuel yang merasa kagum terhadap Feli. Pasalnya, koneksi dari gadis itu tidak hanya mahasiswa S1 saja, bahkan ada yang S2 hingga yang sudah bekerja. Samuel bertanya-tanya, sebenarnya gadis itu bergaul di mana saja?
“Iya, ada yang udah kerja juga. Kita yang S2 sebenernya berempat, ada satu cewek, tapi belom dateng.”
“Udah, kok. Itu lagi jalan ke sini,” balas Feli sambil menunjuk ke salah satu arah kantin.
“Eh, ada Samuel, ya!” teriak salah satu dari antara gerombolan orang yang ditunjuk Feli. Gadis berkepang dua yang berteriak tadi langsung berlari ke arah Samuel duduk, lalu menepuk-nepuk pundaknya dengan heboh.
“Senengnya ngumpul kalau ada Samuel,” ujar gadis berkepang dua itu senang.
“Halo, Seli, seneng juga bisa ketemu elo lagi,” kata Samuel sambil ber-tos ria bersama gadis bernama Seli itu.
“Hai, sori harus nunggu lama,” ucap salah seorang dari ketujuh orang yang baru saja datang.
Dari 7 orang yang baru saja sampai itu, Samuel sudah mengenal 3 orang lainnya. Ada Seli dari FH, Sarah dari FSRD, Keilan dari Psikologi.
“Samuel,” panggil Feli, yang membuat perhatian Samuel teralihkan dari Seli.
“Ini pacar gue, dari bisnis,” ucap Feli memperkenalkan seorang pemuda kepada Samuel. Pemuda itu mengenakan kaus yang dibalut jaket jeans, serta celana jeans, terlihat simple tetapi harus Samuel akui sangat menawan jika dipakai oleh kekasih Feli.
“Halo, bro. Gue Yonathan. Feli sering certain tentang lo, jadinya gue penasaran juga,” Yonathan mengulurkan tangannya, dan disambut Samuel dengan ramah.
“Oh iya, kenalin juga ini Kak Patrick yang udah kerja, ini Kak Grace yang lagi S2, dan ini Viar anak FK nggak pernah nongkrong waktu gue ajakin elo.” Feli kembali memperkenalkan ketiga orang lainnya kepada Samuel, yang disambut senyuman lebar oleh pemuda itu.
Semakin banyak orang yang ia kenal hari ini, ia bisa bercerita kepada teman-temannya nanti.
“Hai, Samuel. Semoga betah kumpul bareng kita, ya,” ucap Grace yang menepuk-nepuk pundak Samuel pelan sambil tersenyum.
Mereka berkumpul dan bercerita hingga waktu menunjukkan pukul 3 sore. Viar pamit terlebih dahulu karena ada jadwal kelas, diikuti Sarah yang harus kembali ke rumah sebelum pukul 4 sore. Pembicaraan terus berlanjut hingga langit berwarna jingga.
“Gue penasaran, deh, Kak. Kenapa grup ini bisa kebentuk?” tanya Samuel kepada Bevilin yang tengah menegak kopi kalengnya.
“Grup ini sebenarnya buat camping, tapi ternyata berlanjut ke grup tongkrongan. Tiba-tiba juga jadi grup buat main voli,” jelas Bevilin sambil terkekeh.
“Main voli? Kalian juga main voli?” tanya Samuel yang tiba-tiba bersemangat.
“Iya! Lo bisa main voli?” tanya Bevilin juga ikut bersemangat. Samuel menjawabnya dengan anggukkan kepala, membuat Bevilin langsung berdiri dari tempatnya dengan bersemangat.
“Ayo main bareng!”
“Ya ampun, Bev. Giliran bahas voli aja lu semangat banget,” seru Grace yang tertawa melihat kelakuan temannya itu.
“Iya, tuh. Udah tua tapi demen main sama anak muda,” tambah Firza yang duduk di sebelah Bevilin.
“Maklumin aja kenapa, sih,” cibir Bevilin sambil kembali duduk di tempatnya.
“Ya udah, nanti kalau mau main voli gue ajakin Samuel, deh,” kata Feli sambil memasukkan iPad miliknya ke dalam tas. Mereka sudah bersiap-siap untuk pulang karena hari sudah semakin gelap. Setelah pertemuan itu, Samuel merasa sangat senang, ia tidak sabar untuk pulang dan menceritakannya kepada teman-temannya yang lain.