sakit kepala
Suara gitar masih berbunyi nyaring ketika William tiba-tiba saja merasakan nyeri pada kepalanya. Secara mendadak ia menghentikan segala aktifitasnya, dan segera meraih botol air di dekatnya. Tindakan pemuda itu sontak membuat rekan-rekannya ikut menghentikan kegiatan mereka.
“Kenapa, Will?” tanya salah seorang rekannya yang berpostur tubuh agak gempal.
“Gue tiba-tiba sakit kepala, Bang. Izin bentar, ya,” ucap pemuda itu sambil memijit pelipis kirinya.
“Eh, kok, tiba-tiba. Lo nggak apa-apa?” tanya rekan kerjanya yang lain. William mengangguk pelan, lalu segera berjalan keluar dari studio, meninggalkan Tari dan beberapa rekan kerjanya di dalam ruangan.
William berjalan menuju pantry kantor, ingin mencari sesuatu yang dapat meredakan sakit kepalanya. Sesampainya pantry, William segera mengambil gelas dan daun teh yang tersisa beberapa lembar lagi. Diseduhnya teh, lalu ia duduk di salah satu kursi yang ada di dalam pantry.
Sambil menunggu teh-nya dingin, William mengeluarkan ponselnya dan menekan salah satu nomor dari kontak telepon. Terdengar bunyi berdering dari benda yang ada di genggaman tangannya, lalu tak lama sang penelepon mendapat jawaban dari seberang.
“Halo, Will. Kenapa?” tanya suara dari seberang dengan setengah berbisik.
Merasa ada yang aneh, William langsung bertanya, “Kamu di mana, Fan?”
“Lagi nemenin Papi ketemu kolega, Will. Ini aku misahin diri dulu tadi,” jawab sang kekasih.
William menghela nafasnya, sepertinya ia harus menangani sakit kepalanya sendirian.
“Kenapa, Will? Kamu ada masalah? Atau kamu lagi pengen main? Aduh, aku nggak bisa kalau main, Will. Papi mau aku temenin sampai malam, aku nggak bisa kasih alasan apa-apa.”
William memijit pelipisnya pelan, kepalanya bertambah pusing.
“Kepalaku lagi sakit, Fan. Tadinya aku pengen kamu dateng ke studio, tapi sekarang udah mendingan jadi nggak usah,” balas William setengah berbohong. Keadaannya tidak semakin membaik, malah bertambah sakit.
“Kamu yakin nggak apa-apa? Aduh, aku pengen lihat keadaan kamu secara langsung, tapi susah.”
“Udah, nggak apa-apa, Fan. Kamu temenin Papi aja, takutnya nanti Papi kamu makin nggak suka sama aku karena kamu nyamperin aku ke sini,” balas William sambil terus memijat pelipisnya.
“Maaf, ya, Will. Aku bakal terus bujuk Papi biar bisa nerima kamu, kok, tenang aja.”
William lagi-lagi hanya bisa menghela nafasnya. Ia sudah tahu, mau sekeras apapun usaha Fanny membujuk Papi-nya, William tidak akan pernah diterima oleh pria itu.
“Eh, Will, udah dulu, ya. Asisten Papi udah manggil aku. Nanti kalau makin parah, kasih tahu aja, ya. Dadah.” Fanny segera menutup telepon sebelum William sempat untuk membalas.
Hubungannya bersama Fanny memang cukup rumit. Papi-nya tidak merestui hubungan sang putri bersama dengan William, walau pemuda itu sudah menjadi produser muda yang sukses. Posisinya jelas berbeda dengan para anak-anak dari kolega-nya yang jelas akan mewarisi perusahaan keluarga, atau dengan para pria yang memiliki pekerjaan stabil. Mereka jelas sudah mendapatkan lampu hijau dari sang Papi, dan William tetap tidak akan pernah bisa mendapatkan itu.
Diseruputnya teh yang sudah mendingin, kembali berpikir apakah jalan yang ia ambil sudah benar atau malah sebaliknya. Apakah ini balasan karena dulu ia menentang sang Ayah? William menggeleng pelan, menghapus segala kemungkinan yang terlintas di kepalanya.
Kepalanya lagi-lagi bertambah sakit. Sepertinya ia harus segera beristirahat. Ia segera menghabiskan teh yang ia seduh, lalu berjalan kembali menuju studio.