makan siang dan masalah
Fanny membuka pintu studio William dengan hati-hati. Di kedua tangannya terdapat banyak tentengan yang berisikan makanan untuk William. Gadis itu diam sejenak, ketika ia melihat William yang tengah sibuk dengan monitor di depannya.
Tak mau mengganggu, Fanny memutuskan untuk duduk di sofa studio. Sembari menunggu, ia mengeluarkan isi tentengannya ke atas meja, agar William bisa langsung menyantap makanan yang ia bawa.
Fanny mengeluarkan iPad yang ia bawa, hendak menonton film sambil menunggu kekasihnya yang belum menyadari keberadaan gadis itu di dalam studio.
30 menit berlalu, William tiba-tiba saja membanting headphone yang ia kenakan. Pemuda itu mengacak rambutnya yang berantakan, lalu memundurkan kursinya pelan.
Fanny yang terkejut melihat kejadian tersebut hanya bisa diam, otaknya berusaha memproses dengan cepat.
Tak lama, William berdiri dari tempatnya, lalu berbalik memandang kekasihnya yang diam mematung.
“Udah lama nunggunya?” William bertanya santai, seakan-akan tidak terkejut dengan kehadiran Fanny.
“Engga…, baru setengah jam, kok,” jawab Fanny dengan suara pelan.
“Mau makan dulu?” tanya Fanny yang prihatin melihat keadaan kekasihnya yang cukup ‘kusut’.
“Boleh, aku mau istirahat bentar.”
William mengambil posisi duduk di hadapan Fanny. Dengan tenang ia menunggu Fanny yang sedang membuka tutup tempat makan.
“Ayo dimakan, Will.”
William mengambil sendok yang Fanny sodorkan, lalu dengan segera ia menyantap hidangan yang tersedia di depannya. Fanny menatap kekasihnya itu dengan senyuman, ia sangat senang jika William memakan masakannya dengan lahap.
“Gimana masakanku kali ini?” tanya Fanny setelah William sesudah menyelesaikan makannya.
“Enak, seperti biasa,” jawab William sambil membersihkan bekas makanannya.
“Kamu kenapa tadi ngebanting headphone? Lagi ada masalah?”
William diam sejenak, lalu menjawab, “file rekamannya hilang, padahal udah deket tanggal rilis.”
William menghembuskan nafasnya kasar, merasa pusing seketika. Fanny meraih tangan William, dan menggenggamnya erat, menyalurkan semangat untuk kekasihnya itu.
“Jadinya gimana sekarang? Udah kamu cari di folder lain?”
“Udah, tapi tetap nggak ada. Aku udah hubungin Kak Gio, sih, siapa tahu dia bisa ngebantu,” jawab William sambil mengusap punggung tangan sang kekasih.
“Semoga Kak Gio bisa ngebantu. Kamu tenang, ya, jangan dibawa stres.”
Tak lama, pintu studio William dibuka secara tiba-tiba. Menampilkan wajah yang familiar bagi Fanny.
“Will, gimana ceritanya bisa hil—.”
Ucapan pemuda itu terputus ketika melihat Fanny dan William yang tengah bergenggaman tangan. Ia menampilkan senyum tipisnya, lalu menyapa Fanny.
“Halo, Fan. Gue nggak tahu lo lagi mampir.”
“Halo, Kak Gio. Maaf ganggu waktu kerjanya,” balas Fanny sambil membalas senyum tipis pemuda berkulit pucat itu.
“Nggak apa-apa. Gue pinjem William dulu, ya,” ucap Gio sambil memberi kode kepada William untuk mengikutinya keluar dari studio.
“Tunggu, ya, Fan. Nanti aku balik lagi,” ucap William sebelum ia beranjak berdiri, mengikuti Gio yang sudah keluar dari ruangan.
Sembari menunggu, Fanny membereskan alat-alat makan yang tadi dipakai, ia kembali memasukkannya ke dalam tas yang ia bawa. Tak sampai 10 menit kemudian, William kembali masuk ke dalam studio, wajahnya terlihat lebih kusut dari terakhir kali ia meninggalkan ruangan.
“Fan, sorry. Kayaknya kamu mending pulang aja, aku mau ngeberesin masalahku dulu. Studionya mau dipakai, nggak enak kalau ada kamu,” ucap William sambil menyerahkan cardigan milik Fanny yang ia simpan di studio.
“Oh, ya udah. Aku pulang, ya, semoga masalahnya cepat selesai. Kabarin aku kalau ada apa-apa,” balas Fanny sambil mengambil cardigan miliknya dari tangan William.
“Kabarin aku kalau udah sampai, ya.” Fanny yang mendengar itu hanya tersenyum dan mengangguk, kemudian melambai kepada William dan berjalan keluar dari ruangan.