i’m not okay (cut version)

“Udah makan belum, Sam?” tanya Waniar yang baru saja tiba di unit apartment Samuel tanpa mengabari terlebih dahulu.

“Belum, Kak,” jawab Samuel yang dengan gugup berusaha menutupi lengan kirinya. Ia lupa memakai baju berlengan panjang, dan ia tidak mengantisipasi bahwa Waniar akan datang secara tiba-tiba seperti ini.

“Mau makan di luar, nggak? Gue baru gajian, nih,” tawar Waniar sambil berjalan mendekati sang adik.

“Bebas, sih, Kak. Yang penting makan,” jawab Samuel tidak seceria biasanya. Waniar menyadari bahwa ada yang berbeda dari adiknya hari ini, pemuda itu terkesan menghindari dan membatasi dirinya terhadap Waniar.

Tanpa disangka-sangka, Waniar tiba-tiba saja menarik tangan kiri Samuel yang dari tadi ia sembunyikan, membuat yang lebih muda terkejut dan panik.

“Lo kenapa, Dek?” tanya Waniar dengan wajah terkejut melihat banyak sekali luka sayatan pada pergelangan hingga lengan bawah sang adik.

Wajah Samuel berubah, ia tidak dapat mengeluarkan suaranya saat ini. Waniar juga tidak dapat berkata-kata lagi. Ia tahu, saat ini Samuel tidak bisa untuk dinasehati atas tindakannya, yang adiknya perlukan adalah support darinya. Untuk itu, Waniar segera menarik yang lebih muda kepelukannya, memberikan perasaan tenang yang Samuel butuhkan sekarang.

Samuel membalas pelukan sang kakak, mencari sebuah ketenangan. Elusan yang diberikan Waniar sukses membuat Samuel terisak, entah kenapa perasaan-perasaan yang ia pendam kembali muncul lagi.

“Kenapa lo lakuin pas Kak Satria mau ke sini, sih, Sam? Gimana gue jelasin ke dia…” lirih Waniar yang dibalas gelengan kecil oleh Samuel. Ia pun tidak tahu harus memberikan pembelaan apa kepada sang kakak.

“Kak… Gue beneran nggak berguna, ya? Gue nggak bisa apa-apa, gue bodoh, gue bahkan nggak bisa ngelawan waktu ditindas, gue cuman jadi beban doang,” isak Samuel, membuat Waniar yang mendengar perkataannya kaget.

“Selama ini lo ditindas? Kenapa nggak cerita, Samuel?” Tanya Waniar, masih belum melepas pelukannya.

“Gue nggak mau bikin Kakak khawatir. Selama ini lo juga lagi ada masalah di kantor, gue nggak mau nambah beban pikiran elo, Kak.”

Hening sejenak, isakan Samuel belum juga mereda, dan pelukan mereka masih belum terlepas. Waniar tahu, jika ia melepas pelukannya, Samuel tidak akan ada keberanian untuk bercerita. Mereka masih terlalu canggung jika bercerita di hadapan satu sama lain.

“Kak, selama ini gue cuman bisa bikin malu nama keluarga, ya?” Tanya Samuel tiba-tiba, suaranya serak akibat terlalu lama menangis.

“Lo nggak bikin malu nama keluarga, lo itu hebat dengan cara lo sendiri,” ucap Waniar sambil mengelus pelan punggung adiknya. Tangisan Samuel kembali pecah, kini lebih keras dari sebelumnya.

Tidak ada kata-kata yang keluar lagi dari bibir kedua kakak-adik itu. Setelah tangis Samuel mereda pun mereka masih mempertahankan posisi berpelukan, sampai Samuel melepas pelukan sang kakak terlebih dahulu.

“Udah mendingan?” Tanya Waniar dengan senyuman hangat. Samuel mengangguk saja, merasa canggung karena sudah menangis dengan keras di hadapan kakaknya.

“Mau makan sekarang, nggak?” Tanya Waniar sekali lagi sambil mengeluarkank handphone dari saku celananya.

“Nggak sekarang, deh, Kak. Lagi nggak ada nafsu makan,” jawab Samuel dengan suara serak sehabis menangis.

“Ya udah, nggak apa-apa. Kalau mau makan, kasih tahu aja, ya,” ucap Waniar sambil mengusap kepala Samuel. Pemuda itu kemudian berlalu menuju kamar tidurnya. Keduanya merasakan canggung, namun berusaha sebisa mungkin untuk peduli satu sama lain.


Setelah makan malam, keduanya kembali berbincang. Membahas Satria yang tiba-tiba akan datang dan menggelar reuni kecil-kecilan di kota yang mereka tinggali. Teman-teman semasa SMA Satria sudah tersebar ke berbagai daerah, namun kebanyakan berada di kota yang sama dengan Samuel dan Waniar, sehingga Satria memutuskan akan mengadakan acara reuni kecil-kecilan.

“Katanya dia bakal buka kantor cabang perusahaan di sini.”

“Serius!?” Seru Samuel yang kaget.

Waniar mengangguk saja. Ia juga sama kagetnya dengan Samuel ketika diberitahu Satria tentang rencananya untuk membuka kantor cabang perusahaan di kota yang mereka tinggali. Pasalnya, sudah beberapa tahun RAV Group tidak lagi membuka kantor cabang di kota mana pun dan tetap berjalan sesuai kemauan Ayah. Rencana Satria ini juga sebagai bukti, bahwa ia telah benar-benar mewarisi perusahaan.

By the way, Kak. Gue mau cerita dikit soal Ayah sama kak Satria, boleh?” Ungkap Samuel sambil menurunkan kedua kakinya yang tadi ia silankan di atas kursi.

“Boleh aja, kenapa?”

Samuel menarik nafas sejenak, rasanya masih sedikit ada keraguan dalam dirinya untuk bercerita.

“Cerita apa, Sam?” Tanya Waniar yang menyadari keraguan dalam diri adiknya itu.

“Dulu, gue pernah ngelihat Ayah nampar Kak Satria karena nggak bisa dapet ranking satu. Waktu itu, Ayah marah-marah sambil teriak kalau Kak Satria itu anak gagal, nggak bisa menuhin ekspetasi Ayah. Mulai dari situ, gue selalu tanemin dalam otak gue kalau Ayah nggak suka lihat orang gagal, Ayah nggak suka lihat anak yang nggak berguna, Ayah pengen anak-anaknya bisa menuhin ekspetasinya, kalau nggak Ayah bakal marah terus mukul kita,” tutur Samuel sambil mengingat kembali ingatan pahit tersebut. Ia masih bisa merasakan perasaan takut yang muncul ketika ia mengintip kejadian tersebut dengan matanya sendiri. Kejadian tersebut tanpa sadar mempengaruhi Samuel hingga ia tumbuh dewasa, membuat sebuah luka batin terhadap Ayahnya sendiri.

Waniar terdiam, ternyata selama ini banyak cerita yang tidak ia dan saudara-saudaranya ketahui tentang Kakak sulung mereka. Mungkin ada lebih banyak lagi cerita menyakitkan terkait masa kecil Satria.

Pemuda itu menatap Samuel yang diam sehabis bercerita. Adiknya juga menyimpan banyak cerita menyakitkan di balik senyuman dan tingkahnya yang menyebalkan. Mungkin ia harus lebih peduli lagi terhadap perasaan Samuel, sebisa mungkin agar luka batinnya bisa sembuh perlahan-lahan.

“Sam, apapun yang terjadi di masa lalu, gue harap lo bisa lupain itu. Apa yang Ayah lakuin itu memang perbuatan yang buruk, tapi sekarang lo nggak perlu khawatir, Ayah sudah nggak kayak gitu lagi, kok. Kita ber-13 bisa bikin Ayah bangga dengan bidang masing-masing. Kesalahan Ayah di masa lalu nggak perlu diingat lagi, kita hanya perlu fokus dengan apa yang terjadi di depan. Gue juga bakal bantu lo, apapun yang lo butuhin. Jadi, ayo kita fokus ke masa depan bareng-bareng, Dek,” ucap Waniar yang tersenyum hangat kepada Samuel, yang dibalas senyuman tipis oleh adiknya itu.

Thank you, udah mau dengerin dan temenin gue di masa-masa sulit gue, Kak. Gue beruntung punya Kakak kayak lo,” balas Samuel yang menutup percakapan serius di malam itu.