malam reuni

Satria akan mengadakan acara reuni kecil-kecilan di salah satu restoran yang berada di tengah kota. Ia sudah menyewa satu restoran hanya untuk acara ini. Tentu saja ketiga adiknya akan ikut di malam nanti, dan diperbolehkan untuk membawa teman mereka masing-masing.

“Lo nggak ngajak partner lo, Kak?” tanya Samuel kepada Waniar yang sedang membongkar lemari pakaiannya.

“Udah gue ajak, bentar lagi udah mau nyampe,” jawab Waniar yang sedang mencoba kemeja biru miliknya.

“Ini perasaan gue aja, atau emang badan lo tambah gede, Kak?” tanya Vincent yang datang entah dari mana.

“Nggak, kok, biasa aja,” balas Waniar sambil memperhatikan bentuk tubuhnya dari cermin. Kemudian, ia kembali melepaskan kemeja biru yang ia pakai, terhitung sudah ada 4 kemeja yang ia coba, tetapi tidak ada yang cocok menurutnya.

“Udah pada siap belom?” tanya Satria dari ambang pintu kamar, ia sudah rapi dengan kemeja dan celana kain hitam.

“Kak Waniar belom, Kak. Dari tadi sibuk nyoba baju mulu,” ujar Samuel sambil bangkit dari posisi duduknya.

“Kenapa, sih, Wan? Lo pakai baju buat ngantor juga nggak apa-apa, kali. Santai aja,” kata Satria sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

“10 menit lagi kita jalan, ya. Pakai yang bikin lo nyaman aja,” lanjut sang Kakak. Kemudian pemuda berusia 26 tahun itu melangkah pergi dari tempatnya berdiri, sepertinya ingin menelepon seseorang.


Restoran yang Satria sewa sudah dihias sesuai dengan request dari pria itu sendiri. Ada beberapa meja bundar yang disusun di tengah-tengah restoran, ditambah dengan panggung kecil untuk band yang telah Satria hubungi, tak lupa di setiap meja diletakkan satu lilin beraroma lavender. Di beberapa titik juga diletakkan meja-meja untuk aneka minuman dan dessert.

Satria, ketiga adiknya, serta Belinda yang ikut dalam acara itu, duduk di salah satu meja bundar yang terletak di tengah ruangan. Mereka datang satu jam sebelum waktu acara yang ditentukan, karena Satria perlu menyiapkan beberapa hal.

“Kalian kalau mau, pesen aja duluan, nanti gue barengan sama yang lain,” kata Satria ketika sudah sekitar 15 menit mereka menunggu.

“Nanti barengan aja, Kak,” balas Waniar sambil melihat arloji di pergelangan tangannya. Satria mengangguk saja, lalu berpamitan sebentar untuk menjemput tamunya di luar.

“Jadi, lo juga adiknya Waniar, ya?” tanya Belinda kepada Vincent yang dari tadi hanya diam.

“Iya, Kak.”

“Wow. Kalian sebenarnya berapa bersaudara, sih?” Waniar yang mendengar itu langsung menatap kedua adiknya dengan sedikit panik.

“Nanti juga lo tau sendiri, Kak.” Samuel yang menjawab, membuat Waniar menatapnya heran.

“Oh, ya udah.”

Tak lama, Satria kembali ke dalam restoran bersama serombongan orang yang mengikutinya. Ia terlihat merangkul seseorang yang sepertinya merupakan teman dekat si sulung. Keempat orang yang sedang duduk itu tidak menyadari kedatangan Satria, sampai pria itu sendiri yang menghampiri mereka.

“Ada temen gue, disapa dulu,” ucap Satria kepada keempat orang di hadapannya. Keempatnya berdiri lalu menyapa segerombolan orang tersebut.

“Kenalin, ini adik-adik gue, terus yang cewek ini temennya adik gue. Nah, terus kenalin ini temen deket gue pas SMA, kita sering main bareng dan masih kontakan sampai sekarang,” ucap Satria memperkenalkan mereka satu sama lain.

“Halo, semua. Gue Juanda, temennya Satria, dan ini adik gue bareng temen-temennya, izin gabung, ya,” ucap Juanda memperkenalkan diri. Sehabis itu, ia bergeser sedikit untuk memperkenalkan adiknya.

Saat itu, tubuh Samuel langsung menegang, kepalanya terasa sangat pusing hingga ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Adik Juanda adalah si abang-abangan kampus, Arjuna. Keduanya bertatapan, membuat Samuel seketika mual. Arjuna sendiri keringat dingin, masih terbayang-bayang perkataan Bevilin tempo hari.

“Ayo, duduk dulu sambil nunggu yang lainnya. Kalau mau, pesen makan aja dulu, yang lain bisa nyusul.” Ucapan Satria memutuskan kontak mata antara keduanya. Samuel perlahan-lahan berusaha mengendalikan dirinya, berupaya untuk tetap bertingkah normal di depan Kakaknya. Samuel diam-diam melirik gerombolan tersebut, dan menemukan Bagas di tengah-tengah mereka, juga beberapa orang yang selama ini selalu mengikuti Bagas.

“Gue mau pesen makan, kalian juga mau, nggak? Biar disatuin,” kata Waniar sambil membuka menu di hadapannya. Vincent juga mengikuti, sepertinya pemuda itu juga sudah lapar.

“Gue mau,” balas Belinda juga ikut membuka menu. Sedangkan Samuel menggeleng, sepertinya ia tidak selera makan malam ini.

Acara tersebut berjalan cukup lama, membuat Samuel gelisah walaupun ia tahu Arjuna tidak akan berani untuk mengganggunya. Kegelisahan Samuel semakin bertambah ketika Satria dan Juanda bersama Arjuna berjalan menuju meja di mana ia duduk.

“Hai, sorry, kalau selama acara gue nggak ngobrol sama kalian, ya. Banyak banget yang harus gue sapa soalnya,” kata Satria saat ia duduk di meja yang Samuel tempati. Begitu juga dengan Juanda dan Arjuna yang duduk tepat di hadapannya.

“Santai aja, Kak. Ini juga acara lo, nggak enak kalau nggak membaur,” balas Waniar sambil menyesap kopi miliknya.

“Oh iya, gue belom kenalin temen gue ini secara lengkap, jadinya gue bawa dia balik lagi.”

“Apa, sih, Sat. Santai aja kali. Gue juga nggak penting-penting amat,” ucap Juanda sambil tertawa keras.

“Dia ini alumni kampus lo, Sam. Adiknya juga sekampus sama lo, kenal, nggak?” Pertanyaan Satria membuat Samuel lagi-lagi bertatapan dengan Arjuna. Dengan gerakan lambat ia menggeleng sambil tersenyum canggung.

“Padahal kalian sejurusan, lho, emangnya nggak ketemu di kampus?” tanya Satria sekali lagi.

“Sejurusan? Berarti sefakultas sama gue dong?” potong Juanda, membuat perhatian Samuel beralih kepada teman kakaknya itu.

“Iyalah, Ju.”

“Widih, keren. Lo kenal dia nggak, dek? Dia ini adiknya pemilik RAV group, lho, masa nggak kenal?” tanya Juanda kepada Arjuna. Yang ditanya hanya menggeleng sambil berusaha mencerna informasi. Samuel adalah adik pemilik RAV group? Perusahaan besar itu?

“Gue emang nggak terkenal, Kak. Nggak ada yang tahu kalau gue adiknya pemilik RAV group,” jawab Samuel sambil tersenyum kaku.

“Keluarga gue emang nggak ngumbar identitas, Ju. Lagian nggak ada untungnya juga buat ngumbar-ngumbar kayak gitu,” ujar Satria sambil merangkul Vincent yang berada di sebelahnya.

“Lho, rugi dong. Kan, untung bisa gampang magangnya?”

“Kakak ngelarang kita magang di Perusahaan, Kak,” jawab Waniar yang dari tadi hanya diam saja.

“Terus kalian magangnya gimana?”

“Kak Satria biasanya bakal bantu cariin, dan keterima atau enggaknya terserah dari Perusahaan.”

Juanda mengangguk-angguk saja, diam-diam merasa kagum dengan cara Satria tidak memanjakan adik-adiknya.

“Emang, sih, kenalannya banyak banget. Gue aja bisa dapat banyak relasi karena dia. Gue juga bisa bantuin adik-adik tingkat gue buat magang karena dia. Gelar Bintang Kampus gue nggak akan ada apa-apanya kalau bukan karena Kakak kalian ini.”

Samuel lagi-lagi melakukan kontak mata dengan Arjuna. Pemuda itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain, ia merasa malu sekarang. Ternyata hal yang selama ini ia banggakan berasal dari ikatan keluarga Samuel. Hal-hal yang selama ini ia pakai untuk merendahkan Samuel malah berbalik ke arahnya.

“Kakak kalian ini orang hebat tahu, kesuksesan gue sekarang juga berkat dia,” ujar Juanda sambil menepuk-nepuk pundak Satria.

“Lo juga hebat. Bantuan gue nggak akan ada apa-apanya kalau lo sendiri nggak berusaha.”

Juanda tertawa, lalu menepuk pundak adiknya pelan. “Nah, sekarang lo udah kenal sama adiknya Satria, kan? Baik-baik, ya, sama dia di kampus, soalnya kalau bukan karena Kakaknya gue nggak akan bisa ada di titik sekarang.” Ucapan Juanda sontak membuat Arjuna berkeringat dingin. Dengan gerakan pelan ia mengangguk. Ia merasa takut sekarang, takut Juanda tahu kelakuannya kepada Samuel.

“Jangan lupa disapa kalau ketemu. Setelah dari sini kalian juga ngobrol, deh, siapa tahu ada pertemuan kayak gini lagi, kan?” tambah Juanda sambil tersenyum lebar.

Samuel mengangguk dan membalas senyumannya dengan terpaksa. Kalau saja keduanya tahu kelakuan Arjuna padanya, pasti meja itu akan panas malam ini. Namun, Samuel memilih untuk membiarkannya saja. Ia juga sudah memiliki beberapa orang yang membantunya untuk melawan Arjuna dan gengnya, itu sudah cukup untuk membuatnya puas.