Main ke rumah

Sepulang kuliah, Darel langsung membawa teman-temannya mengunjungi rumah keluarga Ravindiar. Ketika melewati pos keamanan, Karel langsung berdecak kagum. Pasalnya, rumah keluarga Ravindiar terletak di dalam sebuah perumahan elit di kota itu. Julio yang sedang menyetir sudah biasa melewatinya, karena secara kebetulan keluarganya tinggal di kawasan elit tersebut.

“Baru kali ini gue ke sini. Kenapa lo nggak pernah ngajak kita ke sini, Jul?” protes Bian kepada Julio.

“Kalian pasti nanti nggak percaya kalau gue itu tajir,” jawab Julio setengah mencibir.

“Soalnya tampilan lo tidak mencerminkan orang tajir, Jul,” sahut Mentari yang duduk di kursi depan sambil tertawa.

“Jahat banget lu sama gue, Tar,” ucap Julio dengan nada sedih. Ketika melewati blok rumahnya, ia hanya menoleh sekilas, lalu bertanya kepada Darel.

“Rel, rumah lu blok berapa?”

Darel yang dari tadi diam langsung tersentak kaget. “Apa? Oh, blok H, yang paling belakang.”

Mendengar itu, Julio sontak terkejut. “Blok itu nggak bisa sembarangan orang masuk, lho, Rel. Keamanannya ketat banget, gue aja waktu itu dicegat, nggak boleh masuk kalau nggak ada kartu khusus atau izin khusus, gitu.”

“Aman itu, ada gue kok,” kata Darel menenangkan. Julio mengangguk, percaya saja kepada Darel.

Mereka diberhentikan di depan palang pos satpam blok rumah Darel. Julio menurunkan kaca kemudi, agar dapat berbicara kepada satpam yang berjaga.

“Selamat siang, bisa saya lihat kartu atau izin khususnya?” tanya sang satpam kepada Julio.

Darel ikut menurunkan kaca, “selamat siang, Pak. Ini kartu saya,” ucap Darel sambil menunjukan sebuah kartu berwarna putih.

“Mas Darel? Baru pulang?” tanya sang satpam saat melihat wajah Darel.

“Iya, Pak. Bareng sama temen-temen saya juga,” jawab Darel sambil tersenyum ramah.

“Oke lah, kalau begitu. Silakan masuk, Mas.” Akhirnya mereka diizinkan untuk masuk. Julio sedikit takjub, ternyata temannya tinggal di blok khusus pada perumahan itu.

“Anjir, rumahnya gede-gede, cok,” celetuk Bian yang duduk di kursi paling belakang.

“Wah, gila. Keluarga lo setajir apa sih, Rel? Sampai bisa tinggal di kawasan khusus gini,” tanya Julio dari kursi kemudi.

“Ntar juga lo tau sendiri,” jawab Darel seadanya. Ia tidak ingin membahas tentang pencapaian keluarganya saat ini.

“Rumah lo nomer berapa? Masih jauh, nggak?” tanya Julio lagi.

“Nomer 14, di samping rumah yang pager merah,” jawab Darel sambil menunjuk rumah berpagar merah menyala yang selalu ia cibir.

“Ada, ya, orang yang pakai pager merah kayak gitu,” celetuk Bian dengan ekspresi heran.

“Gue juga nggak ngerti, sih,” sambung Darel ikut heran.

“Yang ini, ya?” Pertanyaan Julio membuat semua perhatian tertuju pada rumah tak berpagar di hadapan mereka.

“Iya, yang itu,” jawab Darel. Mobil yang mereka tumpangi memasuki halaman rumah keluarga Ravindiar.

“Halaman rumah lu luas bener, Rel. Jadi bingung mau parkir di mana,” celetuk Julio.

Darel tertawa saja, dan menyuruh Julio untuk parkir di depan garasi saja. Halaman rumah keluarga Ravindiar sangatlah luas, membuat Julio sedikit bingung akan memarkirkan mobilnya di mana.

Saat turun dari mobil, Darel langsung menuntun teman-temannya untuk masuk ke dalam rumah. Keadaan rumah Darel sudah bisa terlihat dari luar, membuat Mentari semakin penasaran keadaan di dalam rumah pemuda itu.

“Selamat datang, guys, di rumah gue,” ucap Darel sesaat setelah mereka semua masuk ke dalam rumah.

Keempat temannya berdecak kagum, bahkan Karel sudah memisahkan diri untuk melihat beberapa foto yang tergantung pada dinding di dekat mereka.

“Eh, sudah tiba rupanya.” Suara Bunda membuat Darel berbalik, lalu tersenyum.

“Kenalin, guys. Ini Bunda gue.”

Sontak, keempatnya langsung menyalami Bunda secara bergantian.

“Bun, kenalin, ini temen-temenku. Ini Julio, ini Bian, ini Melati, dan yang di ujung sana itu Karel.” Darel memperkenalkan satu persatu temannya.

“Halo, saya Bundanya Darel, semoga bisa temenan terus sama Darel, ya.”

Tak selang beberapa lama, tiba-tiba Ibu dan Mami keluar dari ruang tamu. “Eh, teman-temannya Darel sudah tiba?” ucap Ibu dengan kaget.

“Iya, barusan baru tiba,” jawab Bunda dengan senyum di wajahnya.

Darel melirik teman-temannya, merasa bimbang. Apakah ia harus memperkenalkan the mothers kepada teman-temannya?

Darel mengalihkan pandangannya kepada Ibu. Suasana menjadi sedikit aneh, membuat Mentari menggamit lengan Julio yang juga sedikit bingung.

Ibu memberi kode kepada Darel dengan menggelengkan sedikit kepalanya. Namun, Darel sepertinya tidak menangkap maksud dari kode yang diberikan Ibu.

“Hm, guys. Kenalin, ini-”

“Kami sahabat Bundanya Darel,” ucap Ibu memotong perkataan Darel.

Darel menoleh sedikit, melemparkan tatapan bertanya. Apakah tidak apa-apa seperti ini?

“Ah, iya. Kami berdua dan beberapa teman lainnya sedang berkunjung juga ke sini,” tambah Mami.

“Tante dan beberapa teman memang berteman sejak dahulu, bahkan sebelum Darel lahir. Mereka yang ikut menjaga Darel dari kecil, begitu juga tante dan teman-teman tante menjaga anak satu sama lain,” tambah Bunda sambil menunjuk Mama, Ibun, dan Mommy yang baru memasuki kawasan rumah utama.

“Wah, pertemanannya keren banget,” kata Mentari berdecak kagum.

Bunda tertawa canggung sambil melirik Ibu, ini terasa salah.

Julio, Bian, dan Karel hanya diam saja, merasa bingung. Entah kenapa atmosfer di dalam rumah ini terasa aneh.

“Darel, mau main di mana? Biar nanti Bunda siapin snack sama minuman,” tanya Bunda.

“Kayaknya kita makan siang aja dulu, Bun. Terus nanti kita mainnya di ruang santai aja,” jawab Darel dengan gerakan canggung.

“Oke. Kalau begitu tunggu sebentar, Bunda siapin dulu,” kata Bunda sambil mengajak Mami dan Ibu ke dapur.

“Eh, Tante. Aku bantu boleh, nggak?” tanya Mentari sebelum Bunda berbalik pergi.

“Tidak usah, kamu kan tamu, jadi tidak boleh, ya,” larang Bunda.

Mereka akhirnya menunggu di ruang tamu, di mana lokasi paling aman untuk Darel saat ini.

Ia sangat bingung dan merasa tidak enak dengan the mothers, karena harus terus-terusan bersembunyi begini.

“Rumah lu gede juga, Rel.” Perkataan Julio langsung membuyarkan lamunan Darel.

“Nggak juga,” balas Darel sembarangan, ia tidak tahu harus membalas apa.

“Nggak apanya, cok. Padahal masih ada paviliun di sebelah, tadi gue lihat,” protes Bian tidak terima.

Darel meringis saja.

“Rumah segede ini cuman lo sama Bunda lo yang tinggalin?” tanya Karel yang duduk di sebelah Julio.

“Nggak lah. Dulu ada kakak-kakak gue, tapi mereka pada merantau sekarang,” jawab Darel.

Setelah itu hening, tidak ada yang membuka suara lagi. Sampai Bian tiba-tiba bertanya, “Gue penasaran deh, lo ada berapa bersaudara, Rel?”

Darel diam saja, ia bingung bagaimana menjawab pertanyaan yang satu itu. Untungnya suara Bunda mengalihkan perhatian mereka kepada Darel.

“Ayo, makanannya udah siap. Oh, iya, nanti kalau butuh apa-apa, langsung ke paviliun belakang aja, ya, Rel. Atau nggak chat Bunda aja.”

Darel mengangguk, kemudian menyuruh teman-temannya untuk mengikutinya menuju ke ruang makan.


Waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Setelah main selama beberapa lama, Julio, Karel, Bian dan Mentari akhirnya pamit untuk pulang. Masih ada tugas yang harus mereka selesaikan hari itu. Darel mengantar mereka hingga teras rumahnya, hendak mengucapkan salam perpisahan.

“Makasih buat hari ini, ya, Rel,” ucap Mentari kepada Darel yang berdiri di sampingnya.

“Iya, sama-sama,” balas Darel singkat.

“Makasih juga buat makan siangnya, Rel. Enak banget makanannya tadi,” tambah Bian.

“Iya, sama-sama. Jangan lupa mampir lagi, ya, nanti,” balas Darel sambil merangkul Bian yang berdiri tak jauh darinya.

“Gila, kalau nggak temenan sama lo, pasti gue nggak akan pernah masuk ke kawasan khusus ini, Rel,” kata Julio yang sedang mengamati sekitar halaman rumah Darel.

“Nanti juga lo sering ke sini, Jul. Percaya deh.”

“Oke lah, kalau gitu kita duluan, ya, Rel. Sampai ketemu di kampus.” Karel menepuk bahu Darel sekilas, lalu mulai berjalan mengikuti Julio yang sedang melambai kepada Darel.

Darel balas melambai, juga membalas senyuman Mentari kepadanya. Hari ini ia cukup puas, dan lelah. Banyak hal yang ia lalui hari ini.

Setelah mobil Julio keluar dari halaman rumah Darel dan melaju pergi, si bungsu keluarga Ravindiar itu masuk ke dalam rumah. Ia harus bercerita kepada kakak-kakaknya tentang beban pikirannya sejak tadi.