Konversasi malam
Vincent datang pertama, diikuti Satria beberapa jam kemudian. Jeffry dan William datang sesuai rencana, begitu juga Samuel yang menyusul satu minggu kemudian. Ke-6 saudara itu berkumpul bersama kembali, walaupun rasanya tetap saja sepi tanya sisa saudara yang lain.
The mothers dan sang ayah tentunya senang akan kunjungan itu, karena rumah mereka kembali hidup setelah berbulan-bulan sepi. Banyak hal yang mereka lakukan bersama lagi, seperti mengobrol, memasak, menghabiskan waktu di pekarangan rumah, hingga jalan-jalan bersama lagi.
Pada malam hari, ke-6 bersaudara itu masuk ke dalam kamar Satria, mereka berencana untuk tidur bersama malam itu. Kasur milik Satria sudah dikuasasi oleh Darel, Jeffry dan Vincent, sedangkan sang pemilik berbergabung dengan William yang duduk di karpet. Samuel menguasai sofa, tentunya tidak ada yang bisa memprotes pemuda itu.
“Mau nonton apa ini?” tanya William yang sedang menekan-nekan remote TV, mencari film yang menarik.
“Avanger aja,” sahut Darel yang tidur dengan posisi tengkurap.
“Kebanyakan, anjir. Cari yang sekali nonton langsung selesai dong,” protes Samuel.
“Horror aja,” sahut Vincent tiba-tiba.
“Hah, ogah anjir,” kini giliran Darel yang protes.
“IT aja, Will,” ujar Jeffry tiba-tiba.
“Nah, iya. IT aja,” tambah Satria.
Perdebatan para bungsu terhenti tiba-tiba, mereka tidak berani jika memprotes pilihan sang kakak.
Film itu selesai dalam waktu 2 jam, dengan disertai teriakan-teriakan kaget dari Jeffry, Samuel dan Darel. Vincent sudah jatuh tertidur dengan posisi terlentang, ia seperti tidak peduli dengan isi film yang ditampilkan.
“Untung tidurnya rame-rame, kalau nggak pasti ada yang nggak bisa tidur,” celetuk William sambil melirik ke arah Darel.
“Apa sih, gue bisa kok tidur sendiri,” balas Darel tidak terima.
“Oh? Kalau gitu tidur sendiri sana, jangan gedror-gedor kamar gue nanti tengah malem, ya.” Darel langsung memasang wajah masam sambil menatap sang kakak sulung yang menggodanya.
“Jangan gitu, Sat. Ntar anaknya nangis ketakutan, lho,” ujar Jeffry sambil terkekeh pelan.
“Apaan sih, emangnya gue secengeng itu apa.”
“Heh, gue masih inget, ya. Beberapa malam sebelum gue sama Vincent pergi ngerantau kita sempet nonton horror, terus lo dengan sok beraninya tidur sendiri di saat gue sama Vincent tidur berdua. Taunya lo tengah malem ngegedor pintu gue, mohon-mohon supaya bisa tidur bertiga,” jelas Samuel mengingatkan kejadian memalukan yang Darel alami dulu.
“Hah, serius?” tanya William tidak percaya.
“Serius! Vincent saksi mata.”
Ke-5 bersaudara itu sontak berbalik melihat Vincent yang tertidur pulas. Mereka bingung, kenapa Vincent bisa tidur di antara suara teriakan-teriakan yang berada dekat dengannya?
“Ini anak bisa-bisanya tidur, anjir, pasti kalau diajak nonton bioskop dia bakal tidur doang,” celetuk William dengan tatapan heran.
“Nggak heran kalau orang-orang sebut dia ngebosenin,” ucap Jeffry sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sisa malam itu mereka habis kan untuk bercakap-cakap, mulai dari yang termuda hingga tertua mendapatkan bagiannya masing-masing.
“Kuliah lo gimana, Rel? Lancar?” tanya Satria di sela-sela keheningan.
“Lancar aja kok, Kak. Gue selama ini nggak pernah nunda tugas juga,” jawab Darel.
“Pertemanan lo? Kayak gimana?” giliran Samuel yang bertanya.
“Nggak gimana-gimana sih. Mungkin gue masih susah beradaptasi,” jawab Darel sambil mengusap tengkuknya.
“Nggak apa-apa, pelan-pelan aja, Dek,” kata Satria sambil mengusap paha adik bungsunya itu.
Satria beralih kepada Samuel yang duduk di sofa. “Kalau lo, gimana kuliahnya, Sam?”
“Lancar aja sih, Kak. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab Samuel santai.
“Emang nggak heran ya, sama ini social butterfly satu,” puji Jeffry. Samuel tertawa saja mendengar itu.
“Kan, Sam selalu bisa diandelin juga, jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan dari dia,” ucap William ikut memuji adiknya itu.
“Nah, kalau lo gimana kerjaannya, Will?” Kini giliran Jeffry yang bertanya kepada adik tengahnya.
“Nggak gimana-gimana. Akhir-akhir ini semuanya lancar, talent dan client gue juga puas dengan hasil yang gue kasih,” jawab William.
“Emang nggak usah diraguin lagi, William bakal selalu tuntasin kerjaannya,” ujar Satria sambil menepuk-nepuk bahu adiknya itu. William tertawa kecil, merasa malu jika digoda seperti itu.
“Kalau soal lo sama Fanny? Aman nggak?”
Pertanyaan Satria membuat William terdiam, entah kenapa ia tidak ingin membahas perihal hubungan asmaranya sekarang.
“Aman, Kak,” jawab William singkat.
“Beneran aman?” William mengangguk sebagai jawaban, ia tidak ingin masalahnya membuat kebersamaan malam itu menjadi suram.
“Ya udah kalau gitu. Lanjut deh, kalau lo gimana, Jeff? Kerjaan aman?” Satria beralih kepada Jeffry.
“Aman lah, gila. Kalau nggak aman pasti gue batal pulang,” jawab Jeffry dengan bangga.
“Baguslah, Kak. Kalau perihal pacar, gimana?” kini Samuel yang bertanya.
“Apaan pacar-pacar. Gue nggak punya. Lebih tepatnya nggak ada waktu buat ngurusin kayak gituan,” jawab Jeffry cepat.
“Idih, cari pacar sana, Kak. Inget umur,” ujar Darel.
“Lah, kalau masalah umur, gue kan sama kayak kakak kalian ini, jadi dia juga harus nyari pacar dong?” Jeffry menunjuk Satria yang dari tadi tertawa melihat Jeffry dijahili.
“Kok jadi gue? Kan tadinya lo yang ditanyain, anjir.”
Jeffry menjulurkan lidahnya, ia tidak terima jika dipojokan sendiri.
“Dengar ya, adik-adikku. Umur kita berdua emang udah matang, tapi kita berdua masih mau mikirin kerjaan sama keluarga dulu, soal pacar atau jodoh kan bisa nanti,” jelas Satria.
“Kelamaan nanti nggak ada yang mau lho, Kak.”
“Soal jodohkan Tuhan udah atur, Darel. Pasti bakal dateng cepet atau lambat, kok,” balas Satria sambil mengusap wajah adik bungsunya itu.
“Nah, itu dia. Pasti bakal dateng cepet atau lambat,” kata Jeffry setuju.
William diam-diam saja mendengarkan perkataan kedua kakaknya. Di dalam hati ia bergumul dengan masalahnya, memikirkan tentang hubungannya yang berada di ambang kehancuran.